Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nikel menjadi salah satu komoditas yang diproyeksi punya prospek cerah. Sejumlah katalis akan menopang prospek komoditas tambang logam sepanjang tahun ini.
Analis Panin Sekuritas Timothy Wijaya menilai, tahun ini seharusnya harga nikel akan relatif bullish. Hal ini melihat stok nikel global yang masih terus menurun, dari sekitar 260.000 ton di tahun 2021 menjadi di kisaran 97.000 ton saat ini.
Ditambah, dengan adanya potensi pungutan pajak ekspor yang akan diberlakukan pemerintah Indonesia, maka harga nikel berpotensi terus meningkat.
“Seiring dengan cost yang akan semakin tinggi dari sisi pembeli, dan juga jumlah ekspor nickel pig iron (NPI) dan feronikel Indonesia yang diharapkan dapat menurun,” terang Timothy kepada Kontan.co.id, Rabu (19/1).
Meski demikian, Timothy mengatakan wacana pemerintah tersebut tidak akan berdampak pada kinerja INCO. Sebab, INCO memiliki produk nikel dengan kadar tinggi.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Andreas Yordan Tarigan mengatakan, ada sejumlah faktor yang bisa mendorong penggunaan nikel ke depan. Salah satunya datang dari industri baja nirkarat (stainless steel).
Andreas berpandangan, krisis energi China dan persiapan Olimpiade Musim Dingin Beijing, yang memberi tekanan pada produksi baja, hanya berlangsung sementara. Oleh karena itu, pada tahun ini, Henan Putihrai mengantisipasi adanya pemulihan permintaan dari industri stainless steel.
Baca Juga: Harga Nikel Masih Tinggi, Analis Kompak Rekomendasikan Beli Saham INCO
Selama ini, pasar nikel global didorong oleh produksi stainless steel yang menggunakan nikel kemurnian kelas tinggi 1 dan nikel olahan kelas 2 yang lebih rendah. Permintaan untuk stainless steel mewakili sekitar 72% dari total permintaan nikel.
Karena harganya yang rendah, nikel kelas 2 mendominasi pasar stainless steel. Akibatnya, Indonesia dan Filipina memperluas produksi kelas 2 - nya.
Namun, terjadi pergeseran berkelanjutan menuju produk nikel kemurnian tinggi (nikel kelas I) sebagai akibat dari pertumbuhan industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Beberapa jenis baterai kendaraan listrik menggunakan nikel untuk katodanya, terutama dalam bentuk nikel sulfat.
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menjadi emiten yang bisa mengambil peluang dari prospek penggunaan nikel. Prospek INCO ditopang oleh rencana bisnisnya yang berpotensi mendukung sektor kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
INCO berencana untuk mengembangkan fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL) dengan Sumitomo Metal Mining (SMM).
Andreas berpandangan, HPAL tersebut dapat membuka jalan bagi INCO untuk bergabung dengan ekosistem EV global. Selain itu, INCO bergerak lebih cepat dari holding baterai atau Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk menyelesaikan proyek berkaitan dengan HPAL.
Prospek INCO dinilai atraktif karena memiliki neraca dan struktur modal yang kuat, ditandai dengan posisi kas bersih INCO dengan utang yang rendah.
“Oleh karena itu, INCO akan dapat melaksanakan proyek-proyek besarnya bahkan di tengah situasi harga bahan bakar yang tinggi,” terang Andreas.
Vale Indonesia cukup menikmati berkah kenaikan harga nikel sepanjang tahun lalu. INCO membukukan laba bersih senilai US$ 122,93 juta per kuartal III-2021. Realisasi ini melesat 60,40% dari torehan laba bersih INCO pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 76,64 juta.
Bersamaan, Vale Indonesia membukukan pendapatan senilai US$ 686,43 juta. Angka ini naik 20,21% dari pendapatan tahun sebelumnya sebesar US$ 571,02 juta.
Ekspansi terus bergulir
Manajemen INCO optimistis terhadap kinerja Vale Indonesia. Chief Financial Officer Vale Indonesia Bernardus Irmanto meyakini, solidnya harga nikel akan bisa berlangsung sampai akhir tahun.
Dia menyebut, solidnya harga nikel ditopang oleh dukungan fundamental antara permintaan dan suplai, dan bukan hasil spekulan.
“Sampai akhir tahun kami berharap harga nikel bisa seperti ini. Ini bisa berdampak positif ke kinerja,” terang Irmanto saat konferensi pers usai rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB), Rabu (19/1).
Sejumlah rencana ekspansi INCO juga terus bergulir, salah satunya yakni target final investment decision (FID) untuk proyek fasilitas pengolahan nikel Bahodopi. INCO tetap mengejar target FID smelter Bahodopi supaya tidak lewat dari kuartal pertama tahun ini.
Sementara untuk proyek Pomalaa di Sulawesi Tenggara, FID ditargetkan pada tahun ini.
“Apa yang sudah kami canangkan untuk bisa mencapai FID bisa tetap kami capai di 2022 untuk proyek Pomalaa,” jelas Irmanto.
INCO menyiapkan belanja modal atau capital expenditure (capex) senilai US$ 120 juta tahun ini. Capex ini akan digunakan untuk sejumlah keperluan, diantaranya alokasi untuk pembangunan kembali (rebuild) furnace 4, peremajaan alat, dan pengembangan tambang (mine development).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News