Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak turun pada hari Selasa (14/2). Setelah pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan akan merilis lebih banyak minyak mentah Strategic Petroleum Reserve (SPR) seperti yang diamanatkan oleh anggota parlemen, berlawanan dengan ekspektasi dari beberapa pedagang bahwa rilis dapat dibatalkan atau ditunda.
Melansir Reuters, harga minyak mentah Brent turun 43 sen atau 0,5% menjadi US$86,18 per barel pada 0730 GMT. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 71 sen atau 0,89% menjadi US$79,43 per barel.
Departemen Energi AS (DOE) mengatakan akan menjual 26 juta barel minyak dari SPR, rilis yang kemungkinan akan mendorong cadangan ke level terendah sejak 1983.
"Pedagang energi mengharapkan untuk mendengar berita tentang mengisi ulang SPR dan tidak memanfaatkannya untuk pasokan lebih banyak," kata Edward Moya, seorang analis di OANDA.
DOE telah mempertimbangkan untuk membatalkan penjualan tahun fiskal 2023 setelah pemerintahan Presiden AS Joe Biden tahun lalu menjual rekor 180 juta barel dari cadangan. Tapi itu akan membutuhkan persetujuan Kongres.
Baca Juga: Harga Minyak Turun, Terseret Rencana AS yang akan Menjual Cadangan Minyak
Pedagang akan mencari petunjuk dari data indeks harga konsumen (IHK) AS yang penting pada hari Selasa untuk bulan Januari.
Harga konsumen bulanan AS naik dalam dua bulan sebelumnya bukannya turun seperti yang diperkirakan sebelumnya, meningkatkan risiko inflasi yang lebih tinggi di bulan-bulan mendatang.
"Setiap data yang lebih tinggi dari perkiraan dapat menyebabkan aksi jual baru pada aset berisiko, termasuk minyak," kata Tina Teng, seorang analis di CMC Markets.
Kekhawatiran pasokan juga mereda setelah Administrasi Informasi Energi mengatakan, pihaknya memperkirakan rekor produksi Maret dari tujuh cekungan serpih AS terbesar. Di tempat lain, ekspor minyak mentah dilanjutkan di pelabuhan utama Turki setelah gempa dahsyat mengguncang wilayah tersebut.
"Minyak dalam posisi defensif dan bisa menjadi lebih buruk jika inflasi terbukti lebih sulit dijinakkan," kata Moya dari OANDA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News