Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia kembali naik akhir-akhir ini. Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (12/9) per pukul 20.00 WIB, harga minyak WTI naik 1,36% ke menjadi US$ 88,48 per barel dan Brent terkerek 1,05% menjadi US$ 91,59 per barel.
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, kenaikan harga minyak didorong oleh kuota produksi minyak yang terus dikurangi, khususnya oleh Arab Saudi dan Rusia.
Sebagaimana diketahui, dua eksportir minyak terbesar dunia tersebut memutuskan untuk memperpanjang pemangkasan produksinya hingga akhir tahun 2023.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melonjak Selasa (12/9), Brent ke US$91,80 dan WTI ke US$88,64
Pengamat Pasar Komoditas Alwi Assegaf menilai, hal ini membuat pasokan minyak menjadi semakin ketat, sedangkan permintaan akan terus ada. Ia mencatat, pemangkasan produksi minyak Arab Saudi hampir mencapai 1,3 juta barel per hari hingga akhir tahun 2023.
Alwi memprediksi, harga minyak WTI hingga akhir tahun ini dapat naik lagi ke area US$ 95 per barel, sementara minyak Brent ke US$ 98 per barel. Tak jauh berbeda, Nanang memperkirakan, WTI akan membuka zona atas baru di US$ 90 dengan rentang harga US$ 90-US$ 94 per barel, sedangkan harga Brent akan berada pada rentang harga US$ 95-US$ 100 per barel sampai akhir tahun.
Meskipun begitu, menurut Nanang, ada kecemasan atas perlambatan permintaan minyak global, khususnya dari Amerika Serikat dan China. Naiknya harga bahan bakar minyak membuat sektor manufaktur dan sektor yang sangat berkaitan dengan kebutuhan minyak mempertimbangkan kembali biaya operasionalnya.
“Hal ini akan mengganggu produksi yang terpaksa dikurangi sehingga menurunkan permintaan energi,” ucap Nanang saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (12/9).
Baca Juga: Mirae Asset Sekuritas Optimistis Inflasi dan El Nino Dapat Mendukung Kinerja Keuangan
Lebih lanjut, Alwi menyampaikan, selain pemangkasan produksi, sentimen penggerak harga minyak juga berasal dari kebijakan moneter The Fed pada September 2023 serta data inflasi AS. Saat ini, pasar berekspektasi bahwa kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 bps ke 5,25%-5,50% pada Juli 2023 merupakan yang terakhir.
Inflasi yang melandai juga akan membuat The Fed menahan kenaikan suku bunganya. “Ketika The Fed menjeda kenaikan suku bunganya hal itu akan menurunkan nilai tukar dolar AS lalu membuat komoditas naik sehingga akan turut melambungkan barga minyak,” tutur Alwi.
Sentimen lainnya juga berasal dari upaya pemulihan ekonomi China lewat berbagai stimulus yang dijalankan pemerintah. Menurut Alwi, ketika ekonomi China rebound, maka hal ini dapat menjadi pemacu kenaikan harga minyak mengingat China merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Baca Juga: Jelang Rilis Data Inflasi AS, Rupiah Diprediksi Lanjut Tertekan pada Selasa (12/9)
Nanang menatakan, harga minyak masih akan terus menguat. “Harga Brent menguji area resistace US$ 100 per barel, sedangkan WTI ke US$ 95 per barel. Dan masih bisa dilakukan aksi beli,” kata Nanang.
Sementara itu, Alwi menyarankan untuk menunggu koreksi sehat terlebih dahulu untuk melakukan aksi beli karena harga saat ini sudah cukup tinggi. Ia memprediksi, dalam jangka menengah, harga WTI dapat terkoreksi ke US$ 81 per barel, sedangkan Brent ke US$ 87,74 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News