Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Harga minyak global anjlok tajam hingga 7% pada perdagangan Rabu (9/4), menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir.
Setelah China mengumumkan tarif tambahan atas produk-produk asal Amerika Serikat (AS) sebagai aksi balasan terhadap kebijakan Presiden Donald Trump.
Kementerian Keuangan China menyebut akan memberlakukan tarif sebesar 84% atas seluruh barang impor dari AS mulai Kamis (10/4), melonjak dari pengumuman sebelumnya sebesar 34%.
Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Turun US$ 1 ke Level Terendah dalam 4 Tahun, WTI ke US$ 59,6
Mengutip Reuters, harga minyak Brent turun US$ 2,47 atau 3,9% ke US$60,35 per barel pada pukul 14.23 GMT.
Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga turun US$2,35 atau 3,9% ke level US$57,23 per barel.
Sebelumnya, kedua harga acuan tersebut sempat terkoreksi hingga 7% sebelum memangkas sebagian pelemahan.
Kekhawatiran Resesi Global Kian Menguat
Ketegangan dagang yang semakin panas antara dua ekonomi terbesar dunia itu memicu kekhawatiran akan resesi global dan merosotnya permintaan energi.
“Permintaan minyak memang belum anjlok saat ini, namun kekhawatiran terhadap perlambatan permintaan dalam beberapa bulan mendatang mendorong harga lebih rendah untuk menyesuaikan suplai,” kata Giovanni Staunovo, analis UBS.
Baca Juga: Harga Minyak Anjlok 2% Dekati Level Terendah di 4 Tahun, Terseret Kekhawatiran Resesi
Wakil Presiden Rystad Energy Ye Lin menambahkan, pertumbuhan permintaan minyak China yang saat ini berkisar 50.000–100.000 barel per hari terancam anjlok jika perang dagang berlangsung lebih lama.
“Meski begitu, stimulus fiskal yang lebih kuat untuk mendorong konsumsi domestik bisa sedikit menahan penurunan,” ujarnya.
Efek Domino: Eropa & Kanada Juga Ambil Sikap
Sentimen negatif turut diperparah oleh langkah negara-negara Uni Eropa yang diprediksi menyetujui paket balasan tarif terhadap AS pada hari yang sama, mengikuti jejak China dan Kanada.
Sementara itu, analis Panmure Liberum Ashley Kelty menyebut ada spekulasi bahwa Gedung Putih sengaja mendorong harga minyak ke level mendekati US$50 per barel agar industri migas AS tetap kompetitif dalam jangka panjang.
“Strategi ini agak tidak realistis. Harga yang terlalu rendah justru akan mematikan produksi AS dan memberi peluang bagi OPEC untuk kembali menjadi produsen ayun (swing producer),” kata Kelty.
Baca Juga: Balas Tarif Trump 104%, China Akan Larang Semua Film dari AS
Tekanan Tambahan: OPEC+ Tambah Produksi
Harga minyak juga terbebani oleh keputusan kelompok OPEC+ yang akan menambah produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Mei, sehingga berpotensi menciptakan surplus pasokan di pasar global.
Goldman Sachs dalam riset terbarunya memprediksi, harga mminyak Brent akan berada di kisaran US$62 per barel pada Desember 2025 dan US$55 per barel pada Desember 2026
Harga minyak WTI diperkirakan di US$58 per barel pada akhir 2025 dan US$51 per barel pada akhir 2026
Stok Minyak AS Turun
Satu-satunya kabar positif datang dari data American Petroleum Institute (API), yang menunjukkan stok minyak mentah AS turun 1,1 juta barel pada pekan yang berakhir 4 April 2025.
Baca Juga: Amerika Serikat (AS) Hantam China 104%, Beijing Balas dengan Tarif 84%
Padahal, survei Reuters sebelumnya memperkirakan akan terjadi kenaikan 1,4 juta barel.
Investor kini menanti data resmi dari Energy Information Administration (EIA) yang akan dirilis hari ini pukul 10.30 waktu setempat (1430 GMT).
Selanjutnya: Kinerja Emiten BUMN di Tengah Volatilitas Pasar& Krisis Kepercayaan kepada Pemerintah
Menarik Dibaca: Dominan Berawan, Berikut Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (10/4)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News