Reporter: Michelle Clysia Sabandar | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah Brent kembali melesat sejalan dengan meningkatnya gejolak geopolitik di Timur Tengah. Kemarin, harga minyak Brent kontrak pengiriman Juli 2018 di ICE Futures memang terkoreksi tipis 0,23% ke US$ 77,29 per barel.
Namun, dalam sepekan terakhir, harga minyak Brent berhasil menanjak 3,23%. Bahkan sepanjang tahun ini, harga minyak mentah tersebut melesat 18,04%. Level kali ini juga jadi yang tertinggi sejak Desember 2008.
Keperkasaan minyak Brent terjadi setelah adanya ketakutan pasar terhadap pasokan minyak mentah global berkurang sejalan dengan sanksi yang diberlakukan kepada Iran. Bila ini terjadi, permintaan minyak akan naik.
Belum lagi Bank of America memprediksi, harga minyak Brent bisa reli hingga mencapai US$ 100 per barel di tahun depan. Level yang terakhir dicapai pada 2004 silam ini diyakini dapat ditembus lantaran adanya risiko pasokan minyak dari Venezuela dan Iran berkurang.
Bank Wall Street tersebut memperkirakan, harga minyak bisa naik lebih tinggi lagi jika OPEC terus mempertahankan kebijakan pemangkasan produksinya dan Iran mengalami dampak akibat sanksi yang diberlakukan kembali oleh AS.
"Melihat ke 18 bulan ke depan, kami memperkirakan keseimbangan pasokan dan permintaan minyak global akan mengetat," ujar Francisco Blanch, kepala penelitian komoditas di Bank of America Merrill Lynch di New York, dalam laporannya yang dikutip Reuters, Kamis (10/5).
Sementara, bank-bank Wall Street lainnya juga memiliki pandangan bullish pada minyak mentah, meski tidak sekuat Bank of America. Goldman Sachs Group Inc misalnya, memprediksi harga minyak Brent berpotensi mencapai ke US$ 82,50 per barel dalam beberapa bulan mendatang.
Goldman juga memperkirakan ada kemungkinan harga bisa melampaui level tersebut, namun melihat harga minyak akan kembali stabil pada 2019. "Kalau dilihat, minyak Brent kemungkinan tidak bisa menyentuh angka US$ 100 tahun ini. Namun, bisa saja ada kemungkinan untuk 2019 atau 2020," kata analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar, kemarin.
Saat ini, harga minyak masih tertekan sentimen negatif produksi minyak Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini kembali menambah jumlah sumur aktifnya dan diprediksi dapat mengerek produksi hingga akhir tahun.
Deddy menghitung, jika jumlah rig aktif AS terus bertambah, negara tersebut dapat memproduksi 10,7 juta barel minyak. Bila ini terjadi, artinya produksi minyak AS menyalip produksi Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Meski begitu, Deddy menilai sentimen yang kuat dari memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah masih akan menopang harga minyak dalam jangka pendek. Ia memprediksi harga minyak Brent di awal pekan depan akan bergerak di rentang US$ 76,72–US$ 78,50 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News