Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah terus mendidih, kini panas minyak dunia mulai mereda. Bahkan, dalam dua bulan terakhir harga minyak ementah terus turun.
Merujuk Bloomberg, Senin (22/8), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman September 2022 berada di level US$ 89,21 per barel. Padahal, pada 8 Juni lalu, harga WTI masih berada di level US$ 122,11 per barel, yang merupakan level tertingginya.
Artinya, jika dihitung dari posisi tersebut, koreksi yang terjadi pada harga minyak sudah sebesar 26,9%.
Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengungkapkan, koreksi harga yang dialami minyak dunia disebabkan oleh dua faktor.
Pertama adalah penguatan dolar Amerika Serikat (AS) seiring dengan kebijakan suku bunga bank sentral AS dan naiknya permintaan safe haven. Dengan kenaikan nilai dolar AS menyebabkan harga minyak menjadi lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
“Alhasil, ini berimbas pada turunnya permintaan minyak dunia. Terlebih dengan adanya kekhawatiran terhadap resesi seiring dengan bank sentral China yang memangkas suku bunganya,” kata Faisyal kepada Kontan.co.id, Senin (22/8).
Baca Juga: Harga Minyak Turun Pada Senin (22/8) Pagi, Investor Menimbang Penambahan Pasokan Iran
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menambahkan, selain perlambatan ekonomi yang terjadi di China yang membuat permintaan turun, negara besar lainnya juga mengalami hal serupa. Negara seperti Inggris, dan zona Euro terancam masuk resesi karena inflasi di negara-negara tersebut melonjak tajam.
Terakhir, inflasi di Inggris sudah mencapai 2 digit, yaitu 10.1%. Dengan adanya ancaman resesi, perekonomian dunia semakin lesu dan permintaan minyak sebagai bahan bakar juga akan menurun.
“Jika dilihat dari sisi fundamental, minyak ini sebenarnya masih mix. Hanya saja fokus pasar saat ini lebih tertuju pada penguatan dolar AS dan kekhawatiran inflasi, ketimbang isu ketatnya pasokan,” imbuh Alwi.
Walau berada dalam tekanan beberapa waktu terakhir, Alwi masih melihat ada kemungkinan harga minyak dunia masih mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan pasokan yang masih tetap ketat di tengah larangan impor minyak Rusia oleh negara-negara barat.
Lalu, data terakhir dari EIA memperlihatkan cadangan minyak AS turun 7,1 juta barel di minggu lalu. Ini artinya pasokan masih ketat.
Di satu sisi, ia juga optimistis prospek permintaan minyak diperkirakan masih bisa naik. Salah satu indikasinya adalah IEA yang memprediksi konsumsi minyak dunia akan meningkat menjadi 2,1 juta barel per hari pada tahun ini atau sekitar 2%. Angka itu meningkat 380.000 per hari dari prediksi sebelumnya.
Belum lagi seringnya gangguan pada produksi minyak Libya, yang semakin mengetatkan pasokan.
Baca Juga: Ekonomi Arab Saudi Tumbuh 11,8% di Kuartal II-2022
Sementara Faisyal justru memiliki pandangan yang lebih bearish. Ia memperkirakan harga minyak masih akan berpotensi turun. Pasalnya, dolar AS masih berpotensi menguat seiring dengan masih adanya prospek kenaikan suku bunga AS hingga akhir tahun nanti.
Selain itu, negara besar selain AS juga akan semakin khawatir terhadap potensi resesi yang semakin nyata. Hal ini akan membuat permintaan akan bahan bakar akan kembali turun dan membuat permintaan terhadap minyak dunia juga turun.
“Jadi peluang untuk melanjutkan tren koreksi masih besar, kemungkinan harga minyak WTI di akhir tahun bisa ke area US$ 70-an per barel,” ungkap Faisyal.
Sementara Alwi dengan pandangan optimistisnya meyakini harga minyak dunia pada akhir 2022 bisa kembali ke level US$ 95 - US$ 100 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News