kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45910,98   -12,52   -1.36%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Komoditas Logam Industri Akan Terpuruk, Jika Resesi Ekonomi AS Nyata Terjadi


Jumat, 23 Desember 2022 / 05:41 WIB
Harga Komoditas Logam Industri Akan Terpuruk, Jika Resesi Ekonomi AS Nyata Terjadi
ILUSTRASI. Harga komoditas logam industri diprediksi kian terpuruk di tahun depan. Pasalnya, potensi resesi ekonomi Amerika Serikat (AS) terbuka lebar.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas logam industri diprediksi kian terpuruk di tahun depan. Pasalnya, potensi resesi ekonomi Amerika Serikat (AS) terbuka lebar.

Asal tahu saja, data Bloomberg per 22 Desember 2022 menunjukkan harga komoditas logam industri kompak melemah, kecuali nikel. Secara year to date (ytd), harga aluminium LME turun sebesar 14,82% ke level US$ 2.391 per ton. Harga tembaga LME melemah 13,65% menuju level US$ 8.393 per metrik ton.

Harga timah saat ini berada pada harga US$ 24.060 telah anjlok 38,09% ytd. Sementara, harga nikel menguat sebesar 42,56% ke level US$ 29.591 per ton ytd.

Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono memaparkan bahwa resesi global bakal menekan harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas logam industri.

Kondisi ekonomi global terutama AS menunjukkan ada pergeseran kecemasan dari inflasi menjadi resesi. Serta dari isu supply chain menjadi isu over supply atau dimaknai sebagai lesunya permintaan.

"Tren harga komoditas seperti dalam bahaya karena pergeseran atau transisi narasi. Dari inflasi yang tak terkendali menuju ketakutan terhambatnya pertumbuhan global alias resesi," jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Kamis (22/12).

Baca Juga: Penguatan Harga Komoditas Logam Industri Menunggu Ekonomi China Pulih

Wahyu menilai, di tahun depan masih penuh ketidakpastian karena langkah AS selanjutnya sulit ditebak. Arus balik dampak pengetatan suku bunga memang mengancam komoditas. Pengetatan ini bisa berisiko kepada resesi atau bahkan berlanjut ke krisis ekonomi yang lebih buruk yang ikut menekan komoditas.

Namun jika resesi yang terjadi begitu parah, maka bukan tidak mungkin The Fed mengambil kebijakan pivot atau berbalik arah dengan cepat. Terjadinya resesi biasanya akan diikuti atau direspon dengan perubahan moneter menjadi pivot atau bahkan quantitive easing (QE).

Jika skenarionya demikian, maka harga komoditas bisa rebound terutama minyak dan tembaga sebagai bellwether commodity. Perlu diingat bahwa saat pertumbuhan global tertekan, logam dasar menjadi yang paling terdampak terutama tembaga.

Itulah mengapa tembaga sebagai benchmark ekonomi global atau bellwether commodity. Jika harga tembaga turun, hal itu mencerminkan ekonomi global melemah dan sebaliknya.

"Jadi harga komoditas logam cenderung melemah jika terjadi resesi karena permintaan lemah. Namun jika ada stimulus, komoditas bisa rebound," kata Wahyu.

Logikanya, Wahyu menuturkan, apabila suku bunga tinggi dan resesi memburuk maka suku bunga bakal disesuaikan bahkan dipotong drastis sebagai respons penyelamatan ekonomi.

Jika ingin mengukur perekonomian AS, indikator utamanya adalah indeks saham Wall Street. Seperti kejadian era Great Depression 1928 ketika Wall Street ambruk yang menyebabkan ekonomi terpuruk, sehingga masyarakat juga ikut terpuruk.

Hanya saja, Wahyu berujar, momentum The Fed melonggarkan kebijakan suku bunga belum terlihat. Ekonomi AS masih kuat yang ditunjukkan pada terkendalinya inflasi, namun aksi kerek suku bunga masih berlanjut setidaknya hingga semester I -2023.

Seperti diketahui, inflasi bulanan AS di November 2022 mencatat 0,1% Month on Month (MoM), lebih rendah dari periode sebelumnya sebesar 0,4% MoM, dan juga lebih rendah dari perkiraan 0,3% MoM.

Di November, inflasi AS mencatat 7,1% menjadi yang terendah di tahun 2022. Inflasi tahunan pada November lebih rendah dari periode sebelumnya sebesar 7,7% year on year (yoy) dan lebih rendah dari ekspektasi sebesar 7,3% yoy. Sementara itu, inflasi inti AS juga melambat menjadi 6,0% yoy dari sebelumnya 6,3%yoy.

Sebenarnya, Wahyu melihat bahwa berkurangnya penyerapan logam industri dari China turut melemahkan permintaan dan harga. Namun, faktor utama ekonomi global dianggap merupakan pengaruh besar dari AS, baru kemudian China.

Jika AS bermasalah, sehebat apapun China tidak akan mampu menghindarkan terjadinya resesi global seperti krisis tahun 2008 silam. Kala itu, China memang dianggap bisa menahan krisis karena pertumbuhannya masih tinggi, tapi tidak bisa menghindarkan dunia dari resesi.

"Semuanya tidak bisa meniadakan bahwa dunia sedang dilanda krisis dan ancaman resesi karena faktor utamanya dari AS," imbuh Wahyu.

China sendiri masih berkutat dengan masalah pengendalian covid-19. China tengah dilema antara pemberlakuan lockdown untuk menyelematkan jiwa masyarakat atau pelonggaran aktivitas agar ekonomi terus berputar.

Menurut Wahyu, kebijakan ekonomi global apapun jika diiringi kuatnya suplai ataupun permintaan naik masih tetap sulit membuat harga komoditas naik. Prospek harga komoditas masih sangat bergantung pada potensi resesi AS yang bisa menjalar ke perekonomian global.

Lihat saja, wacana pemangkasan produksi oleh OPEC tidak membuat harga minyak berbalik menguat signifikan. Harga minyak tetap anjlok dekati US$ 70 per barel atau sudah kembali ke level harga sebelum pandemi.

Baca Juga: Tekanan Harga Komoditas Logam Industri Bisa Berlanjut pada Tahun Depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×