Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tekanan bagi komoditas energi masih berlanjut di akhir tahun 2023. Harga komoditas energi seperti minyak mentah, gas alam dan batubara hanya terbang sesaat pasca The Fed umumkan pandangan tentang suku bunga.
Seperti diketahui, The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25% - 5,5% di pertemuan Kamis (14/12) dini hari waktu Indonesia. Bersamaan dengan rapat tersebut, pejabat The Fed mengisyarakatkan adanya pemangkasan suku bunga di tahun 2024 sebanyak 3 kali.
Imbasnya, sentimen risk-on mendominasi pasar dan turut mengangkat harga-harga komoditas energi seperti minyak mentah dan gas alam lebih dari 2% di Kamis (14/12). Namun saat ini harga sudah berbalik datar.
Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong mengatakan, sikap dovish The Fed tentunya mendukung harga-harga komoditas termasuk energi. Walaupun suku bunga masih tinggi, namun investor mengantisipasi pemangkasan suku bunga The Fed paling awal akan terjadi pada Maret 2024.
Baca Juga: Ekspor RI Turun Imbas Penyusutan Harga Komoditas
Hanya saja, Lukman mencermati bahwa keputusan European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) yang belum melunak baru-baru ini telah membatasi euforia dari The Fed. Sehingga, sentimen hawkish suku bunga dari bank sentral utama dunia belum bisa mendukung harga komoditas energi.
Dampak dari kebijakan suku bunga bank sentral pun biasanya bersifat jangka panjang. Bank sentral utama dunia seperti ECB dan BoE kemungkinan juga baru akan ikut menurunkan suku bunga paling cepat di kuartal kedua 2024.
“Harapan pelonggaran kebijakan bank sentral bisa mendukung permintaan jangka panjang, namun untuk jangka pendek efeknya mungkin belum optimal dan tidak akan bisa sebesar efek dari kebijakan produksi OPEC+,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Jumat (15/12).
Lukman melihat, harga minyak mentah masih sulit naik karena permintaan yang lemah. Investor masih belum yakin dengan langkah OPEC+ untuk memangkas 2,2 juta barel per hari pada tahun 2024 dapat mengimbangi lesunya permintaan. Terlebih, pemangkasan tambahan ini bersifat sukarela (tidak wajib) bagi setiap anggota OPEC+.
Gas alam masih terkendala masalah yang sama yaitu cadangan yang hampir penuh di saat produksi yang tetap tinggi. Permintaan diperkirakan masih rendah oleh ekspektasi cuaca yang lebih hangat ke depannya. Sementara, harga batubara sedikit terdongkrak oleh ekspektasi permintaan dari China yang akan meningkat menjelang musim dingin.
“Gas alam tergantung produksi AS yang terus mencapai rekor. Batubara tergantung kebijakan pemerintah dari konsumen terbesar yaitu China,” ungkap Lukman.
Lukman mengharapkan permintaan komoditas energi bakal meningkat di tahun 2024. Namun idealnya peningkatan baru mulai terjadi di semester kedua 2024.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mencermati peningkatan harga minyak mentah WTI didukung oleh sinyal dovish dari Federal Reserve AS, melemahnya dolar, dan perkiraan kuat untuk permintaan minyak global pada tahun 2024. Isyarat Bank Sentral AS mengenai kemungkinan penurunan suku bunga tahun depan telah menekan posisi dolar sekaligus meningkatkan aset berisiko.
“Pelemahan dolar membuat minyak dalam mata uang the greenback dan komoditas lainnya lebih murah bagi pembeli yang memegang mata uang lainnya,” ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, Jumat (15/12).
Baca Juga: Harga Emas Spot Bersiap untuk Kenaikan Mingguan, Jumat (15/12)
Selain itu, lanjut Sutopo, minyak mendapat dorong dari informasi Badan Energi Internasional yang menyatakan bahwa konsumsi minyak global akan meningkat sebesar 1,1 juta barel per hari pada tahun 2024. Angka tersebut naik 130.000 barel per hari dari perkiraan sebelumnya.
Sementara, harga Gas alam berjangka AS diperkirakan akan pulih di tahun-tahun mendatang karena meningkatnya permintaan gas yang didorong oleh pabrik ekspor LNG AS yang baru di AS, Kanada, dan Meksiko, meskipun terdapat penyesuaian perkiraan mengenai penurunan permintaan di AS.
Sutopo menilai saat ini harga gas alam AS naik menuju level US$ 2,4 per MMBtu seiring meningkatnya perkiraan permintaan dan peningkatan aliran gas ke pabrik ekspor gas alam cair. Namun, harga kemungkinan telah mencapai puncaknya untuk musim dingin ini.
Batubara sendiri masih berupaya menuju US$ 150 per ton pada bulan Desember 2023. Saat ini, harga batubara bergerak datar di kisaran US$ 145 per ton.
Sutopo menyoroti bahwa terdapat peningkatan permintaan batubara dari konsumen utama seperti Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merupakan konsumen utama batubara kualitas tinggi dalam indeks Newcastle di luar Australia, sehingga meningkatkan aktivitas pembelian jelang akhir tahun karena perusahaan utilitas lebih banyak menggunakan batubara termal dibandingkan gas alam cair.
Data dari Kpler menunjukkan bahwa Jepang akan mengimpor hampir 10,4 juta ton batubara termal melalui laut pada bulan Desember, terbesar sejak bulan Maret. Sedangkan Korea Selatan diperkirakan akan mengimpor 8,6 ton batubara termal bermutu tinggi, terbesar sejak Juli 2021.
“Perkembangan tersebut sangat kontras dengan melemahnya permintaan batubara kualitas rendah, yang sebagian besar disebabkan oleh lesunya pembelian dari India dan Tiongkok,” kata Sutopo.
Sutopo memperkirakan harga batubara akan meningkat menuju level US$ 152,11 per ton pada awal tahun 2024. Proyeksi untuk harga minyak mentah WTI dan Gas Alam AS masing-masing diperdagangkan di posisi harga US$ 72 per barel dan US$ 2,50 per Mmbtu.
Kalau Lukman melihat harga minyak mentah masih akan berada di kisaran US$70 per barel – US$80 per barel di awal tahun depan. Gas alam diproyeksi berkisarn US$ 2 Mmbtu – US$2,5 Mmbtu, sementara batubara diperkirakan pada rentang US$125 – US$140 per ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News