Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang kuartal I-2018, harga gas alam mencatatkan pergerakan yang cenderung stagnan. Berlangsungnya musim dingin tak cukup menjadi katalis positif yang bisa membawa harga melaju kencang. Gas alam juga mendapatkan tekanan dari naiknya produksi di Amerika Serikat (AS).
Dibanding komoditas energi lainnya, selama tiga bulan pertama, harga gas alam kontrak pengiriman Mei 2018 turun 1,5% yaitu dari US$ 2,741 per mmbtu pada akhir 2017 menjadi US$ 2,733 per mmbtu per akhir Maret 2018.
Sedangkan secara harian pada penutupan perdagangan Rabu (4/4), pukul 14.00 WIB, pelemahannya hanya sekitar 0,11% ke level US$ 2,700 pe mmbtu.
“Secara umum di kuartal I harga relatif stabil karena permintaan masih terjaga,” ujar Andri Hardianto, analis Asia Tradeppoint Futures kepada Kontan.co.id, Rabu (4/4).
Selain kebutuhan rumah tangga untuk mengatasi musim dingin, kenaikan permintaan juga datang dari sektor pembangkit listrik. Yang paling signifikan terjadi di China. Data General Administration of Custom menunjukkan pada 2017, negeri Tirai Bambu itu mencatatkan kenaikan impor LNG sebesar 27% menjadi 68,57 juta ton. Bahkan, China kini telah menjadi negara pengimpor gas alam terbesar kedua setelah Jepang.
Selain China kenaikan permintaan juga datang dari India. Mereka juga mulai menambah porsi komoditas rendah polutan ini. India menargetkan bisa menyuplai 10 juta rumah tangga dan menambah akses gas alam untuk ratusan industri juga pelanggan ritel pada 2019 nanti.
Namun, di sisi lain, kenaikan produksi gas alam AS cenderung menekan pergerakan harga. Negeri Paman Sam itu terus menambah jumlah kilang dan jalur pipanisasi ke Kanada dan Mexico. Bahkan produksinya telah mengungguli tingkat permintaan yang ada.
“Inilah yang menyebabkan harga flat,” imbuh Andri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News