Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO) diproyeksikan tetap tinggi hingga akhir tahun 2021. Hal tersebut bakal menjadi salah sentimen positif bagi kinerja emiten perkebunan di tahun ini.
Berdasarkan data Bursa Derivatif Malaysia, harga CPO untuk kontrak pengiriman Januari berada di level RM 4.936 per ton.
Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe mengungkapkan, harga tinggi CPO tersebut masih akan bertahan setidaknya hingga akhir tahun ini. Sekalipun koreksi, menurutnya lebih bersifat sementara dan ada potensi kembali naik lagi. Proyeksinya, harga CPO akan stabil di kisaran RM 4.500 per ton pada akhir tahun nanti.
Dengan masih tingginya harga CPO, Kiswoyo menilai emiten produsen CPO akan diuntungkan dan mendapat katalis positif untuk kinerjanya pada tahun. Namun, dari sisi produksi CPO, menurutnya akan ada penurunan. Hal ini dikarenakan panen tahun ini merupakan hasil pemeliharaan dan pemupukan tahun lalu yang tidak optimal lantaran adanya pandemi Covid-19.
“Namun, ini diimbangi dengan harga CPO yang lebih tinggi. Biaya yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ton CPO itu RM 1.500, itu pun terhitung tidak efisien dan boros, jika efisien bisa RM 800 - RM 1.000 per ton. Artinya, dengan harga CPO saat ini yang sangat tinggi, profitabilitas emiten CPO tahun ini sangat menjanjikan,” kata Kiswoyo kepada Kontan.co.id, Jumat (11/12).
Baca Juga: CPO Malaysia: Ekspor Melemah, Stok Minyak Sawit per Oktober Meningkat
Oleh karena itu, ia meyakini emiten produsen CPO pada tahun ini akan hijau semua dari sisi kinerja dan menjadikannya menarik untuk dilirik. Apalagi, secara harga, banyak emiten CPO yang masih belum naik harganya.
Senada analis Jasa Utama Capital Sekuritas Cheryl Tanuwijaya juga meyakini harga CPO berpotensi menguat hingga awal tahun 2022 meskipun di jangka pendek bisa saja terkoreksi karena kenaikan harganya yg signifikan. Ia berkaca dari sisi suplai, di mana data produksi CPO Malaysia bulan Oktober naik 1,3% m/M, namun ekspor bulanannya turun 12%.
Sementara untuk tahun depan, menurutnya, harga CPO akan jauh lebih stabil selama tidak ada lagi pembatasan kegiatan ekonomi maupun cuaca buruk ekstrem yang berkelanjutan.
Analis Mirae Asset Sekuritas Juan Oktavianus saat ini juga memberi rating overweight untuk emiten sektor perkebunan di Indonesia. Ia meyakini, prospek CPO masih akan menarik pada sisa tahun ini seiring produksi di Malaysia yang masih cenderung rendah. Belum lagi, permintaan dari India masih akan mengalami kenaikan seiring bea pajak di sana diturunkan.
“Dari sisi produsen, kebijakan pemerintah yang merevisi pungutan ekspor CPO pada pertengahan tahun lalu akan meningkatkan margin para produsen. Hal ini menjadi katalis positif untuk kinerja emiten perkebunan,” imbuhnya
Pada tahun ini, Juan memproyeksikan average selling price (ASP) CPO akan berada di level RM 4.372 per ton. Sementara untuk tahun depan diproyeksikan akan sebesar RM 4.100 per ton.
Juan sendiri lebih memilih saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) ketimbang PT PP Londum Sumatera Tbk (LSIP) untuk saat ini.
Dia beralasan, AALI memiliki area penanaman yang lebih luas, yakni 289.000 dibanding milik LSIP yang hanya 96.000. Selain itu, dari FFB yield, AALI juga lebih tinggi, yakni 8,8x berbanding 7,2x, serta punya usia rata-ratan tanaman yang lebih produktif, yakni 15,5 tahun berbanding 16,9 tahun.
Berbeda dengan Juan, saat ini, Cheryl menjadikan LSIP sebagai top pick untuk emiten sektor perkebunan. Menurut dia, LSIP tengah mempersiapkan pertumbuhan produksi sawit 5% lebih tinggi dari tahun lalu. Pihak manajemen LSIP juga telah melakukan beberapa upaya seperti replanting, membuka lahan baru, dan pengoperasian pabrik sawit baru.
“Selain itu secara valuasi saham, LSIP masih di bawah rata-rata PE-nya dalam 3 tahun terakhir. Hal ini membuat LSIP secara valuasi, masih murah sahamnya dan punya prospek yang menarik ke depan,” katanya.
Baca Juga: Memasuki bulan November, saham-saham CPO punya peluang naik
Sementara Kiswoyo melihat, dengan peluang dan prospek yang menarik, saham-saham emiten perkebunan bisa dikoleksi ketika harganya mengalami koreksi.
Berikut rekomendasi saham emiten perkebunan dari para analis:
1. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
Pada kuartal III-2021, AALI berhasil mencatatkan kenaikan volume penjualan CPO sebesar 410.000 ton atau naik 27,1% secara kuartalan. Padahal, secara produksi, AALI justru turun di kuartal III-2021, di mana produksi FFB sebesar 1,1 juta ton atau turun 1,9% secara kuartalan. Lalu produksi CPO AALI juga turun 6% secara kuartalan menjadi 382 ribu ton. Untungnya penurunan produksi dikompensasi oleh kenaikan ASP AALI menjadi Rp 10.700 per kg dari 10.300 per kg.
Analis Mirae Asset Sekuritas Juan Oktavianus merekomendasikan beli untuk saham AALI dengan target harga Rp 12.700 per saham.
2. PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG)
DSNG mencatatkan laba bersih sebesar Rp 415,9 miliar hingga kuartal III-2021, didorong oleh volume penjualan kayu yang tumbuh 20% secara year on year. Namun, volume penjualan CPO yang turun 5,1% secara yoy, sedikit menghambat kinerja DSNG. Kendati begitu, pada kuartal IV-2021, kinerja DSNG baru akan mencatatkan pertumbuhan kinerja yang solid dan ASP CPO DSNG yang hanya RP 8.680 per kg hingga 9M21 bisa naik jadi Rp 11.000 pada kuartal IV mendatang.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Andreas Kenny merekomendasikan untuk beli saham DSNG dengan target harga Rp 1.000 per saham.
3. PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG)
TAPG berhasil catatkan kinerja yang solid setelah seluruh segmen bisnisnya mengalami pertumbuhan yang solid. Tercatat, penjualan segmen CPO dan Palm Kernel (PK) berhasil naik 24,3% secara yoy mencapai Rp 4,38 triliun dan FFB naik 62,4% yoy menjadi Rp 58 miliar. Sementara itu, segmen karet juga berhasil naik 131,1% secara yoy menjadi Rp 16 miliar. Selain itu, TAPG juga berhasil menjaga efisiensi dengan menurunkan biaya produksi sehingga mendorong margin lebih tinggi.
Analis Ciptadana Sekuritas Yasmin Soulisa merekomendasikan beli untuk saham TAPG dengan target harga 1.150 per saham.
4. PT PP London Sumatera Tbk (LSIP)
LSIP saat ini tengah mempersiapkan pertumbuhan produksi sawit 5% lebih tinggi dari tahun lalu. Pihak manajemen LSIP juga telah melakukan beberapa upaya seperti replanting, membuka lahan baru, dan pengoperasian pabrik sawit baru. Selain itu secara valuasi, saham LSIP masih di bawah rata-rata PE-nya dalam 3 tahun terakhir.
Analis Jasa Capital Utama Sekuritas Cheryl Tanuwijaya merekomendasikan untuk beli saham LSIP dengan target harga Rp 1,500 per saham
Selanjutnya: BNI bantu kelompok tani bangun ekowisata di Bogor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News