Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja PT Harum Energy Tbk (HRUM) akan didukung pemulihan harga batubara hingga akhir tahun ini. Potensi pendapatan dari batubara diharapkan bisa menutupi lesunya harga nikel.
Analis Panin Sekuritas Rizal Rafly mengatakan, kinerja HRUM masih akan sangat tergantung dengan pergerakan harga batubara. Hal itu mengingat kontribusi pendapatan batubara masih menjadi sumber pendapatan utama.
Secara keseluruhan, HRUM mencatatkan pendapatan sebesar US$165 juta pendapatan dari segmen batubara, sementara nikel menyumbang US$97 juta kepada total pendapatan HRUM di kuartal pertama 2024.
Rafly menilai, pendapatan HRUM diharapkan sedikit membaik pada kuartal kedua 2024. Optimisme tersebut seiring dengan harga batubara yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada kuartal pertama lalu. Pada Mei 2024, harga batubara Newcastle sempat mencapai titik tertinggi tahun ini di level US$147 per ton.
“Berhubung sumber pendapatan utama HRUM mayoritas masih batubara, maka performa perseroan masih akan disetir oleh pergerakan harga batubara,” kata Rafly kepada Kontan.co.id, Senin (8/7).
Baca Juga: Kinerja Harum Energy (HRUM) Disetir Harga Batubara, Cek Rekomendasi Sahamnya
Menurut Rafly, batubara masih memiliki potensi kenaikan harga dalam jangka menengah seiring kebakaran bawah tanah di tambang batu bara Australia. Di sisi lain, terdapat gangguan rantai pasokan lebih lanjut seperti hujan lebat di Indonesia.
Sementara itu, India sebagai konsumen batu bara terbesar kedua di dunia, mengalami rekor permintaan listrik tertinggi di wilayah utara akibat gelombang panas yang terus-menerus.
Dari bisnis nikel, Rafly melihat akuisisi HRUM terhadap PT Westrong Metal Industry (WMI) di awal tahun ini akan berdampak pada peningkatan volume produksi nikel. Kapasitas produksi tahunan dari smelter yang diakuisisi tersebut yaitu sekitar 56 ribu ton nikel.
Hanya saja, pergerakan harga nikel masih tertekan kondisi kelebihan pasokan (oversupply) dari Indonesia dan lemahnya data manufaktur di China akan menjadi sentimen negatif jangka menengah bagi segmen nikel HRUM.
Rafly menuturkan, pergerakan harga nikel dalam jangka pendek ke menengah masih akan tertekan karena dolar AS yang lebih kuat dan data manufaktur yang lemah dari China. Meskipun terjadi kondisi bullish seperti penurunan suku bunga Bank Sentral Eropa, terhentinya produksi di Kaledonia Baru, serta potensi penghentian izin di Indonesia.
“Kami memperkirakan tantangan yang sedang berlangsung akibat oversupply, sehingga memperkirakan total stok nikel primer akan mencapai level tertinggi dalam empat tahun pada tahun 2024. Dengan demikian, membatasi pemulihan harga nikel yang signifikan hingga sisa tahun ini,” ungkap Rafly.
Rafly merekomendasikan buy untuk HRUM dengan target harga Rp 1.600 per saham. Senin (8/7), harga saham HRUM ditutup pada posisi Rp 1.200 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News