Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kegagalan bisa menjadi batu pijakan untuk meraih kesuksesan. Itulah yang dirasakan Hans Kwee, Direktur Emco Asset Management, terutama dalam berinvestasi di pasar saham.
Ketika masih di bangku kuliah, Hans sejatinya lebih tertarik berbisnis di sektor riil. Bisnis pembuatan sepatu kulit menjadi pilihannya.Hans sempat menikmati profit yang lumayan dari bisnis yang ia mulai di tahun 1997 itu. Namun, memasuki 1998, Indonesia mengalami terkena krisis moneter yang cukup parah. Inflasi melambung tinggi dan daya beli masyarakat anjlok. Alhasil, usaha sepatu yang dirintis bersama dua kawannya itu harus gulung tikar.
Kegagalan itu mendorong Hans untuk lebih tekun mempelajari ilmu ekonomi, khususnya sektor finansial. Belakangan, ia terinspirasi dari George Soros, seorang spekulan produk derivatif dan pasar modal tapi justru mampu menggoncangkan perekonomian dunia. Inilah yang kemudian menjadi pemantik awal Hans untuk menapaki investasi di pasar saham.
Investasi pertama Hans dilakukan secara tanggung-renteng bersama kawan-kawannya untuk membuat rekening efek sebesar Rp 25 juta. Karena sifatnya patungan, keputusan beli atau jual saham ditentukan dari hasil diskusi dan musyawarah. Dari sanalah, wawasan Hans mengenai dunia pasar modal mulai terbangun.
Harus sabar
Seiring berjalannya waktu, Hans juga membuka rekening efek secara pribadi agar lebih optimal meraih cuan dari saham. Prinsip yang dia pegang teguh dalam investasi saham cukup sederhana: sabar dan percaya pada analisis sendiri.
Hans mencoba disiplin dengan basis analisis guna menentukan keputusan beli atau jual saham. Untuk investasi jangka panjang, ia melihat sisi fundamental suatu saham secara komprehensif.
Hans tidak ingin terpaku pada laporan keuangan emiten ketika melakukan analisis fundamental. "Itu tidak akan jalan karena hanya merefleksikan masa lalu," jelas Hans.
Sebagai pelengkap, ia juga menelisik prospek sektoral saham yang akan dijadikan tempat berinvestasi. Ia bilang, setiap sektor itu punya siklus dan keunggulan masing-masing.
Analisis dia, setelah ekonomi mengalami resesi, sektor yang bakal melesat adalah perbankan yang ditandai dengan turunnya suku bunga. Kemudian, kejayaan bakal berpindah tangan ke sektor pembiayaan dan properti. Ini yang sedang terjadi di Indonesia. Permintaan properti terus melambung ditandai dengan melonjaknya pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR). "Tapi, siklus properti kita sedang menuju akhir karena suku bunga terus naik," ujar Hans. Peneropongan berdasarkan siklus dipadankan dengan kinerja dan valuasi dari setiap saham.
Dari basis analisis yang komprehensif itulah, Hans menentukan saham mana yang akan dibelinya. Untuk trading jangka pendek, ia menetapkan batas cut loss jika harga sudah turun 5%-10%. Sebaliknya, Hans menentukan batasan untuk ekseskusi profit 2-3 kali lipat dari batas cut loss.
Terlepas dari analisis tersebut, Hans bilang, investasi saham harus sabar. Jika dilakukan berdasarkan analisis yang tepat, pasti akan menghasilkan profit, rata-rata dalam 5 tahun. Karena itulah, dana untuk investasi saham harus bersifat menganggur dan bukan untuk kebutuhan inti.
Dia juga mewanti-wanti investor agar percaya pada analisis sendiri dan jangan terpengaruh orang lain. Dalam pandangannya, investasi saham sebaiknya tidak perlu diumbar ke orang lain. "Semakin kita mengumbar, kita bakal kian terpengaruh oleh orang lain," saran Hans.
Selain di saham, ia juga menaruh sebagian aset investasinya di reksadana, unitlink dan kas. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News