Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kini, pasar keuangan bersiap menyambut tren kenaikan suku bunga selepas The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 bps, yang kemudian disusul oleh beberapa bank sentral global lainnya.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai, selama The Fed menaikkan suku bunga tidak lebih dari 2% untuk tahun 2022, maka dampaknya ke pasar obligasi akan jauh lebih terukur.
Namun, jika ternyata kenaikan suku bunga The Fed lebih dari 2% di tahun ini, maka ada kemungkinan asumsi yield wajar obligasi Indonesia akan berubah.
“Sementara untuk pasar saham, seharusnya kondisinya seharusnya jauh lebih baik jika mengacu pada kinerja laporan keuangan dan pemulihan aktivitas ekonomi,” katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (17/6).
Sedangkan Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi menyebut, sejauh ini kebijakan fiskal dan moneter Indonesia sudah berjalan secara suportif dan akomodatif dalam meredam gejolak eksternal. Oleh karena itu, ia meyakini perekonomian Indonesia pada 2022 akan lebih baik dari kondisi tahun 2021.
Baca Juga: Pasar Keuangan Diperkirakan akan Fluktuatif ke Depan, Imbas Tren Kenaikan Suku Bunga
Menurutnya, dengan kebijakan BI yang akomodatif, baik dari sisi fiskal maupun moneter, akan mampu menjaga ekonomi nasional untuk tetap solid pada tahun ini.
Dengan demikian, investor tidak perlu khawatir, apalagi inflasi di Indonesia juga masih cukup terkendali. Namun, ia melihat, saat ini sentimen yang perlu diwaspadai justru potensi kekhawatiran yang berlebihan.
“Misalnya, ketika ternyata pasar saham Amerika jatuh, investor meyakini pasar saham Asia juga akan ikut jatuh. Padahal, kan secara fundamental Indonesia punya data ekonomi yang solid,” imbuhnya.
Kendati begitu, Indonesia dinilai tidak sepenuhnya bebas ancaman. Sentimen seperti kenaikan harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya patut diwaspadai sebagai sentimen negatif. Terlebih, dengan mulai adanya varian Covid-19 baru dan kenaikan kasus positif Covid-19 di dalam negeri.
Sementara, menurut Rudiyanto sentimen lain yang harus diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat. Jika sampai terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan membuat kebijakan arah suku bunga berubah menjadi lebih tidak agresif seperti saat ini
Selain itu, kelanjutan perang Rusia-Ukraina yang berpengaruh terhadap tingginya harga minyak dunia. Jika harga minyak dunia kembali menembus level US$ 120 per barel, maka laju inflasi yang tinggi masih akan berlanjut. Pada akhirnya, kebijakan moneter yang agresif juga akan berlanjut.
Secara umum, Reza meyakini bahwa kondisi pasar akan cenderung sideways dalam waktu dekat. Hal ini dikarenakan para investor masih dalam momentum wait and see. Namun, ia berharap para investor bisa lebih jeli dalam keadaan seperti ini dengan memanfaatkan momentum untuk cicil beli atau averaging down pada pasar saham.
Ia meyakini, jika bisa memilih saham yang tepat, potensi upside yang ditawarkan masih bisa menjanjikan. Apalagi, harga komoditas sejauh ini masih tetap tinggi. Di satu sisi, ia melihat instrumen pasar uang juga berpeluang menawarkan imbal hasil yang menarik.
“Tidak menutup kemungkinan di pasar uang juga akan memberikan return yang menarik, karena jika BI mengambil keputusan untuk kenaikan suku bunga, maka pasar uang menjadi menarik untuk dicermati,” ungkapnya.
Baca Juga: Ini Sektor yang Jadi Andalan untuk Didanai OCBC NISP Ventura (ONV) di Tahun Ini
Sedang Rudiyanto meyakini, bagi para investor yang memiliki time horizon jangka panjang, kondisi seperti ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Bahkan, penurunan yang dalam di instrumen berbasis saham maupun obligasi, justru memberikan peluang untuk melakukan pembelian dengan harga murah.
Ia menambahkan, bagi investor yang punya modal investasi besar, reksadana berdenominasi dolar AS bisa jadi alternatif pilihan investasi. Menurutnya, secara historis, mata uang dolar AS menjadi diversifikasi yang cukup baik terhadap kinerja IHSG. Selain itu, dolar AS juga berpotensi menguat ketika IHSG sedang mengalami penurunan sehingga investor bisa mendapatkan keuntungan dari selisih kurs.
Reza saat ini menyarankan para investor bisa memarkirkan dananya di reksadana pasar uang jika berada dalam kondisi wait and see. Lalu bisa memanfaatkan momentum untuk cicil beli di instrumen saham agar investor bisa mendapatkan return maksimal ketika pasar saham sudah kembali memberikan performance tinggi.
Dia pun menyarankan investor bisa menyusun portofolionya dengan komposisi pasar uang sebesar 50%, lalu sebesar 20% untuk instrumen saham, kemudian 30% sisanya pada instrumen lainnya.
“Agar bisa tetap mendapatkan kinerja yang optimal, bisa mengatur alokasi portofolio dengan didominasi pada instrumen yang memiliki fitur pendapatan tetap, seperti Deposito dan obligasi tenor pendek-menengah,” ucap CEO Edvisor.id Praska Putrantyo.
Adapun, rekomendasi Praska saat ini, investor bisa menempatkan dananya sebesar 20% pada instrumen pasar uang, lalu SBN tenor pendek-menengah (di bawah 10 tahun) sebesar 30%, serta pada obligasi korporasi dan saham masing-masing 20% dan 30%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News