Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Fed resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps pada pekan lalu sebagai upaya meredam laju inflasi Amerika Serikat. Tak berselang lama, berbagai bank sentral global lainnya juga ikut menaikkan suku bunga masing-masing.
Sementara di Indonesia, inflasi domestik yang masih terjaga membuat Bank Indonesia diperkirakan tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga BI7DRR. Namun, cepat atau lambat, BI akan mengikuti tren menaikkan suku bunga acuan.
Dengan tren kenaikan suku bunga, CEO Edvisor.id Praska Putrantyo melihat ke depannya pasar keuangan, terutama di pasar saham dan obligasi, diperkirakan masih akan fluktuatif dengan kecenderungan mengalami tekanan.
Hal ini dikarenakan respon investor terhadap kebijakan moneter yang agresif dari The Fed bisa berdampak ke negara berkembang, seperti Indonesia.
Baca Juga: BI Masih Tahan Suku Bunga, Obligasi Korporasi Tenor Pendek Jadi Pilihan Menarik
“Tak hanya itu, nilai tukar rupiah pun sudah melemah menembus level Rp 14.800 per dolar AS sembari menanti kebijakan suku bunga acuan dari BI di tengah laju inflasi tahunan domestik yang sudah mencapai 3,55% per Mei 2022,” kata Praska kepada Kontan.co.id, Jumat (17/6).
Praska menambahkan, di tengah situasi seperti saat ini, investor sebaiknya memperhatikan rilis data indeks manufaktur dan jasa dari negara-negara maju dan berkembang, seperti AS, Uni Eropa, dan China, Hal ini bisa memberikan gambaran lebih dini mengenai kondisi ekonomi riil.
Selain itu, tren indeks dolar AS dan pergerakan yield US Treasury 10 tahun juga sebaiknya menjadi sentimen yang dipantau investor. Pasalnya, pergerakan keduanya dapat mempengaruhi imbal hasil pasar SBN domestik dan prospek suku bunga acuan.
Walaupun kinerja pasar saham dan SBN diperkirakan cenderung tertekan dalam jangka pendek, namun, secara jangka menengah, dia melihat tekanan akan relatif melandai karena menunggu sentimen dari rilis kinerja emiten di kuartal II-2022.
“Sementara di pasar uang justru diperkirakan positif karena kenaikan suku bunga acuan akan mengerek kenaikan suku bunga pasar uang, seperti deposito perbankan,” imbuh Praska.
Alhasil, Praska melihat saat ini berinvestasi di obligasi korporasi yang memiliki minimal rating A dan fundamental solvabilitas & likuiditas keuangan yang kuat bisa menjadi alternatif.
Sementara di SBN, investor dapat mencermati SBN tenor pendek-menengah karena memiliki risiko fluktuasi harga yang diperkirakan lebih rendah dibanding tenor panjang (di atas 10 tahun).
Baca Juga: Risiko Kredit Perbankan di AS Meningkat Pasca Kenaikan Suku Bunga The Fed
Sementara bagi investor yang berminat di instrumen saham, menurutnya saham-saham yang diuntungkan dengan pemulihan ekonomi serta siklikal bisa jadi pilihan. Misalnya, saham dari sektor perbankan, barang konsumen, peritel, dan komoditas energi.
“Agar bisa tetap mendapatkan kinerja yang optimal, bisa mengatur alokasi portofolio dengan didominasi pada instrumen yang memiliki fitur pendapatan tetap, seperti Deposito dan obligasi tenor pendek-menengah,” terang Praska.
Untuk saat ini, Praska merekomendasikan investor bisa menempatkan dananya sebesar 20% pada instrumen pasar uang, lalu SBN tenor pendek-menengah (di bawah 10 tahun) sebesar 30%, serta pada obligasi korporasi dan saham masing-masing 20% dan 30%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News