kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.568.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.190   15,00   0,09%
  • IDX 7.089   24,28   0,34%
  • KOMPAS100 1.050   2,99   0,29%
  • LQ45 820   -0,96   -0,12%
  • ISSI 212   2,00   0,95%
  • IDX30 421   -0,80   -0,19%
  • IDXHIDIV20 504   -0,45   -0,09%
  • IDX80 120   0,40   0,33%
  • IDXV30 124   0,56   0,46%
  • IDXQ30 139   -0,48   -0,34%

Hadapi Berbagai Tantangan, Kinerja Emiten Sektor Migas Diproyeksi Tetap Positif


Minggu, 12 Januari 2025 / 21:39 WIB
Hadapi Berbagai Tantangan, Kinerja Emiten Sektor Migas Diproyeksi Tetap Positif
ILUSTRASI. Kinerja emiten sektor minyak dan gas (migas) diproyeksi tetap positif sejalan dengan optimisme harga migas global.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja emiten sektor minyak dan gas (migas) diproyeksi tetap positif sejalan dengan optimisme harga migas global. Upaya pemerintah meningkatkan investasi migas turut menjadi katalis positif.

Analis MNC Sekuritas Christian Sitorus melihat, meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan penutupan jaringan pipa gas Rusia melalui Ukraina telah meningkatkan risiko pasokan energi global. Di pasar minyak, gangguan apa pun di Selat Hormuz sebagai rute perdagangan minyak utama dapat mendorong harga minyak naik hingga 20-50% karena menimbulkan kekhawatiran pasokan.

Hanya saja, suplai terbatas diiringi permintaan minyak yang lemah terutama dari konsumen utama seperti Tiongkok. Kebijakan transisi energi Tiongkok telah menyebabkan penurunan permintaan minyak mentah global dengan impor turun sebesar 2,2% YoY hingga September 2024.

Sebagai respons, Organisasi Pengekspor Minyak dan Sekutu (OPEC+) telah mempertahankan pemangkasan produksi 2,2 juta barel per hari hingga Desember 2024. Pengurangan itu untuk mendukung harga minyak yang lebih tinggi di tengah permintaan yang lemah, terutama di Tiongkok dan AS.

Baca Juga: Surplus Minyak Melonjak di 2025, Simak Rekomendasi Saham Emiten Sektor Migas

Berdasarkan data Bank Dunia, harga minyak global pada tahun fiskal 2025 diproyeksikan turun hingga 8,8% menjadi US$ 73 per barel. Hal ini disebabkan oleh kelebihan pasokan yang disebabkan oleh melemahnya permintaan, terutama di negara-negara seperti Tiongkok, AS, dan Brasil.

Sementara itu, pemutusan kontrak ekspor gas terlama Rusia ke Eropa melalui jaringan pipa lewat Ukraina menimbulkan tantangan geopolitik dan ekonomi yang besar bagi kawasan tersebut. Ukraina dan Rusia telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak akan memperbarui perjanjian tersebut yang berpotensi mengakibatkan pasokan gas Eropa berkurang yang akhirnya mendorong harga gas naik.

Bank Dunia memproyeksikan harga gas alam pada tahun 2025 akan naik sebesar 6,5% di Eropa dan 54,5% di AS, masing-masing mencapai US$ 11,5 dan US$ 3,4 per MMBtu. Kenaikan ini didorong oleh penundaan proyek akibat COVID-19, ketegangan geopolitik, dan ladang gas yang menua di wilayah yang sulit diakses, yang menyebabkan biaya produksi lebih tinggi.

‘’Kami masih mempertahankan peringkat Netral untuk sektor migas karena potensi kenaikan harga minyak mentah akibat ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah dan transisi yang sedang berlangsung menuju energi bersih yang belum sepenuhnya terlaksana,’’ ungkap Christian dalam riset 5 Desember 2024.

Baca Juga: Menakar Prospek Emiten Konglomerasi yang IPO di Awal Tahun 2025

Dari domestik, Christian mengatakan bahwa Indonesia pun tengah mempercepat transisi energi bersihnya, yang bertujuan untuk mencapai 31% energi terbarukan pada tahun 2050. Gas alam merupakan bagian penting dari strategi ini sebagai alternatif yang lebih bersih untuk batu bara dan minyak, yang menawarkan nilai kalori tinggi sekitar 9.424 kkal/m3, menjadikannya sumber energi yang efisien.

Gas alam juga memainkan peran penting dalam industri seperti produksi pupuk, yang menyoroti pentingnya gas alam dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan mengurangi dampak lingkungan.

Sementara itu, lanjut Christian, guna memperkuat ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor, pemerintah menetapkan target lifting minyak sebesar 605.000 Bpd pada tahun anggaran 2025 dan berencana untuk mengaktifkan kembali 1.000 – 1.500 sumur yang tidak beroperasi setiap tahunnya, yang bertujuan untuk mencapai target produksi 1 Mbpd dan 12 BSCFD pada tahun anggaran 2030.

Indonesia memiliki 41.154 sumur di dalam negeri, dengan 10.398 saat ini diklasifikasikan sebagai tidak beroperasi, meskipun upaya pengaktifan kembali bergantung pada kondisi bawah permukaan dan biaya terkait

Baca Juga: Emiten Konglomerat IPO, Investor Diingatkan Tetap Cermat

Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta memandang, masih terdapat potensi pelebaran defisit perdagangan migas karena Indonesia perlu mengimpor sekitar 40-50 kargo LNG pada 2025 untuk mengimbangi penurunan gas pipa. Ini akan menambah setidaknya defisit perdagangan tambahan sebesar US$2 miliar.

Sementara itu, pasokan LNG domestik saat ini – dari Bontang, Tangguh, dan Donggi-Senoro, belum mencukupi yakni sekitar 14-15 kargo LNG untuk memenuhi permintaan LNG domestik dengan beberapa kargo telah dikontrak ke pelanggan luar negeri.

Terkait skema bagi hasil (gross split) baru, Ryan menilai skema tersebut merupakan hal positif karena lebih menguntungkan dan lebih mudah. Skema bagi hasil kotor baru yang pada dasarnya memastikan bagi hasil kotor sebesar 75-95% untuk kontraktor dengan hanya 5 parameter dari sebelumnya 13 parameter.

Pada Agustus 2024, Kementerian ESDM telah menerbitkan peraturan menteri No.13/2024 tentang bagi hasil (gross split) PCS, menggantikan peraturan tahun 2017 untuk menarik lebih banyak investasi migas dengan menyederhanakan persyaratan proyek serta meningkatkan porsi bagi hasil bruto (gross split) bagi kontraktor.

‘’Skema pembagian kotor (gross split) yang lebih menguntungkan, kemudahan berbisnis, dan potensi insentif fiskal akan mendorong investasi migas,’’ tutur Ryan dalam riset 25 November 2024.

Baca Juga: Harga Shell Super Turun Tipis Usai Naik, Bisakah Lebih Murah Dari Pertamax, BP, Vivo?

Menurut Ryan, skema bagi hasil kotor yang lebih baik akan menguntungkan MEDC dalam jangka panjang. Sementara itu, impor LNG lebih lanjut akan memungkinkan PGAS untuk mengenakan biaya distribusi yang lebih tinggi pada >US$2 per mmbtu untuk gas pipa/HGBT, meskipun rawan risiko intervensi pemerintah.

Di antara nama-nama yang tidak diperingkat, WINS akan menjadi penerima manfaat utama karena aktivitas eksplorasi migas yang lebih tinggi dan tarif sewa yang lebih tinggi. Selain itu, SUNI akan diuntungkan dari pipa OCTG, wellhead migas, dan pembuatan pohon Natal & persyaratan kandungan lokal TKDN yang lebih tinggi untuk industri migas.

Ryan menyarankan buy untuk MEDC dengan target harga Rp 1.700 per saham, sedangkan PGAS direkomendasikan hold dengan target harga Rp 1.500 per saham.

Christian menyarankan buy untuk AKRA dan MEDC dengan target harga masing-masing sebesar Rp 2.000 per saham dan Rp 1.950 per saham.

Selanjutnya: Pemerintah Batasi Ekspor Limbah Sawit, Begini Respon Gapki

Menarik Dibaca: Hujan Petir Landa Daerah Ini, Berikut Ramalan Cuaca Besok (13/1) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×