Reporter: Ruisa Khoiriyah, Diemas Kresna Duta, Veri Nurhansyah Tragistina, Narita Indrastiti | Editor: Ruisa Khoiriyah
Beberapa aturan baru teknis perdagangan di BEI mulai berlaku tahun ini. Pro-kontra kencang terdengar. Khusus aturan fraksi harga, banyak trader jangka pendek menjerit protes. Namun, sebagian kalangan yakin, aturan baru itu justru bagus dalam menciptakan pasar yang
lebih stabil.
JAKARTA. Membuka pekan kedua Januari 2014, gerutuan kesal dan celetuk bernada bingung nyaring terdengar dari balik layar monitor para pencari cuan di pasar saham domestik. Di beberapa milis saham, keluhan para trader silih berganti muncul. “Trading jadi lebih susah, stresnya berlipat-lipat, mencari untung juga jadi lebih lama. Peluang untung dan risikonya jadi enggak sebanding, pokoknya ribet, deh!” keluh Rudi, salah seorang trader yang biasa mengais cuan di Bursa Efek Indonesia (BEI), lewat salah satu milis saham.
Memang ada apa, sih? Pangkal keributan dan keluhan para trader itu tak lain adalah kebijakan baru otoritas BEI. Melalui Surat Keputusan Direksi
PT Bursa Efek Indonesia No. Kep-00071/BEI/11-2013 pada 88 November 2013 lalu, mulai 6 Januari 2014, otoritas BEI memberlakukan aturan baru teknis perdagangan saham. Pertama, batas penghentian perdagangan secara otomatis (auto rejection). Semula sistem perdagangan di BEI mengatur batas auto rejection volume penawaran jual atau beli adalah lebih dari 10.000 lot, atau 5% dari jumlah efek yang tercatat di BEI. Maka, kini batasannya berubah menjadi 50.000 lot.
Kedua, aturan lot saham di pasar reguler dan tunai. Semula 1 lot dihitung sebanyak 500 saham. Maka mulai pekan lalu, jumlah 1 lot saham sama dengan 100 saham.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI Syamsul Hidayat mengatakan, perubahan satuan lot saham tersebut agar investor ritel lebih leluasa masuk ke pasar saham.
BEI melihat, banyak saham berfundamental menarik namun tak likuid karena harganya sudah terlalu mahal. Alhasil, investor ritel sulit masuk. Aturan lot saham yang baru diyakini bisa memecahkan masalah itu.
Kedua, aturan fraksi harga (tick price). Sebelum 6 Januari lalu, BEI memberlakukan lima fraksi harga untuk lima kelompok harga saham. Kelompok saham dengan harga di bawah Rp 200 per saham dikenai fraksi harga Rp 1. Lalu, kelompok harga Rp 200 hingga kurang dari Rp 500, fraksi harganya Rp 5. Kemudian, fraksi harga untuk kelompok saham berharga antara Rp 500 hingga di bawah Rp 2.000, sebesar Rp 10. Kelompok saham dengan harga Rp 2.000 hingga Rp 5.000, berlaku fraksi harga Rp 25. Terakhir, fraksi harga kelompok saham berharga di atas Rp 5.000 sebesar Rp 50.
Kini, fraksi harga dipersempit menjadi tiga tingkat saja (lihat tabel di halaman 13). Dari tiga aturan baru itu, aturan fraksi harga agaknya yang paling banyak menuai kontroversi. Ada yang bersuara keras tak sepakat dengan aturan baru itu seperti yang banyak terungkap di milis-milis saham.
Namun, tak sedikit pula yang menilai aturan baru itu akan bagus bagi penataan pasar saham ke depan. “Orang akan terdorong untuk bermain saham berdasarkan fundamental saham, tak sekadar memainkan harga untuk mencari untung,” komentar Saptono Widhi, salah seorang trader di BEI.
Dengan begitu, pembentukan harga saham berikut indeks saham bakal lebih mencerminkan situasi yang sebenarnya, yakni kondisi fundamental emiten. Bandar akan semakin sulit mempermainkan pembentukan harga di pasar. Dus, kelak harga saham dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak sekadar bergerak fluktuatif nan tajam akibat aksi goreng menggoreng saham oleh para bandar. “Volatilitas tetap ada, namun pergerakannya akan lebih halus,” sambungnya.
Memang, aturan baru fraksi harga menjadikan rutinitas mengais untung dari bertransaksi saham menjadi relatif lebih sulit, terutama bagi pemain saham jangka pendek (day trader). Maklum, pergerakan harga menjadi lebih lambat. Konsekuensinya, penurunan ataupun kenaikan harga saham juga turut berkurang ketajamannya.
Dahulu, seorang trader bisa meraup untung hanya dengan satu atau dua level harga (tick), maka kini untuk meraih cuan dibutuhkan beberapa tick. Belum lagi beban fee transaksi dan pajak yang menipiskan cuan.
Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada memberikan contoh. Taruh kata, Anda membeli saham PGAS di harga Rp 4.500 per saham. Berdasarkan aturan lama, ketika terjadi kenaikan satu poin, Anda mengantongi untung Rp 25. Dengan kata lain, hanya dengan sekali transaksi, seorang pemain saham sudah bisa mengantongi untung Rp 25 per saham.
Nah, dengan fraksi baru, setiap kenaikan poin, investor hanya mendapatkan gain Rp 5. Alhasil, untuk bisa meraih untung Rp 25 saja, Anda harus melakukan lima kali transaksi. “Meraih untung jadi lebih lama dan harga saham menjadi lebih susah dimainkan,” kata Reza.
Perdagangan sepi
Kepusingan sebagian trader di BEI menyikapi perubahan aturan fraksi harga rupanya cukup serius. Kebanyakan dari mereka akhirnya memilih
untuk menahan diri alias wait and see mempelajari aturan main baru sebelum beraksi agresif seperti biasa.
Akibat sikap itu, pada hari pertama penerapan fraksi harga, pergerakan indeks cukup lambat. Sepanjang perdagangan di bursa saham Senin, (6/1), volume transaksi hanya 2,65 miliar saham. Sedang nilai transaksi mencapai Rp 3,08 triliun. Bila dibandingkan dengan volume transaksi beberapa hari sebelumnya yang rata-rata mencapai kisaran 4 miliar saham, penu-runan itu cukup signifikan. Alhasil, pada hari itu indeks ditutup melemah 1,29% ke 4.202,81.
Keesokan hari, indeks kembali terjerembap ke 4.175,80. Akan tetapi, volume dan nilai transaksi justru meningkat, yaitu menjadi 3,43 miliar saham dengan nilai mencapai Rp 3,32 triliun. Kenaikan volume transaksi juga berlanjut di hari-hari berikutnya.
Memang, faktor fraksi harga bukan penyebab tunggal sepinya perdagangan di bursa. Ada beberapa sentimen pasar lain yang turut menekan gairah pasar. Sentimen perekonomian global dan mood bursa yang tengah muram tahun lalu juga menjadi faktor penekan.
Namun, yang jelas, beberapa sekuritas mengakui terjadi penurunan transaksi yang cukup signifikan di periode awal penerapan aturan baru tersebut.
Tengok saja di AAA Securities. Sepanjang hari pertama penerapan aturan baru fraksi harga, nilai transaksi saham melalui mereka hanya Rp 18,6 miliar atau sepertiga dari nilai transaksi sehari-hari. Batavia Prosperindo Sekuritas juga mengalami hal serupa. Nilai transaksi saham di sana menurun dari rata-rata Rp 50 miliar–Rp 70 miliar per hari, menjadi cuma Rp 14 miliar. “Ini terasa sekali, karena banyak trader yang masih belum berani ambil posisi,” kata Gurasa Siagian, Direktur Equity Sales Batavia Prosperindo Sekuritas.
Desmond Wira, trader di BEI, berujar, pelaku pasar membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan aturan main baru tersebut. “Satu pekan atau dua pekan lagi, setelah beradaptasi, kemungkinan aktivitas para pelaku pasar akan kembali normal,” kata dia.
Selain itu pelaku pasar yang bertindak sebagai market maker, sejauh pengamatan Saptono, juga belum beraksi agresif. Itu pula yang memicu aksi saling tunggu di antara para pelaku pasar. “Trader ritel juga masih menunggu respons dari market maker terkait penerapan aturan baru itu,” kata dia.
Perlu strategi baru?
Lantas, dengan aturan baru yang dikeluhkan para trader membikin cuan seret itu, apakah berarti jalan untuk mengais untung dari transaksi saham sungguh-sungguh buntu? “Tentu tidak, hanya saja memang perlu dicari strategi trading yang tepat agar tetap bisa untung sesuai target,” kata
Desmond.
Dia mencermati, yang paling menguntungkan untuk diperdagangkan dalam jangka pendek adalah saham dengan kelompok harga Rp 50–Rp 200 dan Rp 500–Rp 100. Dengan kenaikan satu tick saja, pemilik saham berharga Rp 500 per saham sudah mendapat potensi keuntungan sekitar 1% atau Rp 5 per saham. Bandingkan dengan saham berharga Rp 4.000 yang cuma menghasilkan tingkat keuntungan 0,13% setiap kenaikan satu tick harga.
“Yang jadi masalah, kelompok harga dengan peluang profit besar itu justru yang rawan digoreng pula,” kata Desmond. Sebaliknya, di mata Reza, aturan fraksi harga itu tidak harus mengubah strategi trading para spekulan. “Strategi sama saja. Hanya, untuk mendapatkan untung yang menjadi agak susah karena harus menunggu kenaikan harga agak lama,” kata dia.
Saptono juga melihat, aturan baru fraksi harga tidak menuntut perubahan strategi trading nan drastis agar tetap bisa untung. Kecepatan mengail cuan memang melambat, namun pada dasarnya, para pelaku pasar diarahkan untuk memburu saham-saham berfundamental bagus dan berharga menarik.
Maklum, sudah menjadi rahasia umum bahwa pergerakan harga beberapa saham di bursa kerapkali lebih banyak disetir oleh aksi goreng-menggoreng saham alih-alih diburu karena faktor fundamental emiten yang menarik.
Dengan aturan baru itu, Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai, tuntutan bagi para pelaku pasar agar benar-benar mengetahui barang alias saham yang dibeli, semakin tinggi. “Investor harus bisa membaca laporan keuangan emiten agar paham fundamentalnya seperti apa, berikut prospeknya,” kata dia.
Tentu saja, investor perlu juga mencermati setiap sentimen yang beredar di pasar, terutama sentimen yang digerakkan oleh isu makroekonomi. Itu adalah strategi berinvestasi yang mendasar, bahkan ketika seorang investor tidak memahami analis teknikal.
Nah, kalau Anda termasuk investor yang galau gara-gara perubahan fraksi, silakan menghibur diri dengan mengingat-ingat pengurangan ukuran lot dari 500 saham menjadi 100 saham. Siapa tahu dengan telaten membedah jeroan emiten, nasib baik justru datang? Siapa pula yang tahu jangan-jangan hoki Anda datang bersama- saham berfundamental cemerlang?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News