Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan rintisan teknologi (startup) kini mulai memenuhi lantai Bursa Efek Indonesia (BEI). Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony menilai fenomena tersebut sebagai ajang para startup untuk mencari pendanaan yang besar.
Bursa merupakan salah satu tempat yang baik untuk mencari modal besar yang dibutuhkan startup. "Sehingga perusahaan digital listing," imbuh dia, Rabu (18/9).
Menurutnya, prospek saham startup digital yang sudah IPO masih stagnan. Sebab, mereka adalah perusahaan skala kecil dengan aset fisik yang kecil.
Di mana aset tersebut merupakan modal bagi mereka, sehingga masih cukup berisiko. Selain itu, marjin laba yang dibukukan juga terhitung masih kecil.
Karenanya, Chris tidak merekomendasikan saham perusahaan startup digital.
Baca Juga: Sejumlah saham IPO calon emiten laris manis di masa penawaran umum
Meski begitu Chris juga tidak menampik bahwa secara fundamental, kondisi perusahaan rintisan cukup solid karena tidak banyak mengambil pinjaman. Namun, menurutnya itu karena struktur permodalan mereka yang lebih banyak didanai oleh investor internalnya.
Dia menyarankan para investor untuk tetap memperhatikan pendapatan dan laba bersih perusahaan. Serta mengukur besaran pengeluaran perusahaan terutama untuk aktivitas pemasaran yang dirasa kurang efektif.
Kontan.co.id mencatat setidaknya ada tujuh startup digital berstatus perusahaan terbuka, antara lain, PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS), PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA), PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS), PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), PT Hensel Davest Indonesia Tbk (HDIT) dan PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO).
Hampir semua startup tersebut mencatatkan pertumbuhan penjualan yang tinggi.
Misal, MCAS pada semester I-2019 berhasil mengantongi pendapatan sebesar Rp 4,56 triliun. Naik 81,67% bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy), dari Rp 2,51 triliun.
Baca Juga: Telefast Indonesia (TFAS) IPO 17 September, investor ritel beli saham jangka pendek
Kenaikan tersebut juga membuat laba terkerek naik 103,9% yoy menjadi Rp 90,84 miliar. Sayangnya, kondisi yang begitu solid tak tercermin pada pergerakan harga saham MCAS yang justru hanya naik 0,31% sejak awal tahun (ytd) ke level Rp 3.220.
Hal serupa juga terjadi pada YELO. Kinerja keuangan emiten ini cukup solid, tetapi harga saham malah anjlok 59,6% ytd ke level Rp 160 . Padahal, YELO berhasil mengantongi pendapatan Rp 21,55 miliar atau tumbuh 155,03% yoy. Sementara itu laba juga tumbuh 164,92% yoy dari Rp 501,27 juta menjadi Rp 1,33 miliar.
Harga saham dengan kondisi fundamental yang solid tersebut bisa dikatakan tak sejalan. Ini yang dimaksud Chris, bahwa laporan keuangan startup digital perlu diperhatikan terutama pada pos beban. Besarnya beban membuat laba tak bisa dinikmati dengan optimal sehingga tercermin dalam pergerakan harga saham.
"Seperti MCAS, pendapatannya hingga Rp 4 triliun tetapi laba hanya Rp 90,84 miliar," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News