Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings memprediksi, rata-rata harga jual crude palm oil (CPO) pada 2021 akan lebih rendah. Penyebabnya adalah adanya output yang lebih tinggi dan penurunan konsumsi biodiesel di Indonesia.
Dalam laporannya, Selasa (1/12), Fitch menyatakan bahwa prediksi ini dibuat dengan memasukkan asumsi harga spot patokan Malaysia yang pada 2021 berada di US$ 560 per ton, lebih rendah dari 2020 yang sebesar US$ 650 per ton. Kondisi ini akan berpengaruh pada EBITDA dan berpotensi meningkatkan leverage perusahaan melebihi ambang batas peringkatnya.
Merespons hal ini, Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Santoso mengatakan, sulit untuk memprediksi pergerakan harga jual CPO ke depannya. Pasalnya, harga jual CPO dibentuk oleh jumlah permintaan dan penawaran beserta sentimen-sentimen yang mengiringinya.
Meskipun begitu, Santosa menuturkan, Astra Agro Lestari melakukan perencanaan dengan dua skenario utama untuk tahun 2021. Dengan begitu, Astra Agro Lestari siap menghadapi kenaikan maupun penurunan harga jual.
Baca Juga: Kementan: Ada 2,78 juta ha lahan sawit rakyat yang perlu diremajakan
Skenario pertama adalah jika produksi nasional tahun depan stagnan alias sama seperti tahun ini. Sementara pada skenario kedua, produksi nasional CPO pada 2021 ditargetkan tumbuh 2,5 juta ton-3 juta ton.
Apabila skenario satu yang terjadi, dengan catatan pandemi mulai teratasi sehingga ekonomi pulih dan kebutuhan CPO global meningkat, maka harga jual diprediksi relatif stabil. Sementara itu, apabila skenario dua yang terjadi, maka kunci menjaga stabilitas harga kembali pada program biodiesel.
"Bila pemerintah menaikkan bauran ke B40, maka tambahan produksi yang ada akan bisa diserap untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri," kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (3/12). Dengan begitu, harga jual CPO juga akan relatif stabil.
Sebaliknya, skenario terburuk adalah apabila produksi nasional CPO tumbuh 2,5 juta ton-3 juta ton, tetapi pandemi tidak teratasi dan permintaan biodiesel berkurang. Kondisi ini berpotensi membuat harga jual CPO anjlok.
Baca Juga: Imbas pandemi Covid-19, Aprobi: Permintaan biodiesel turun hingga 12%
Direktur PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) Jenti Widjaja menambahkan, prospek harga CPO tahun 2021 sangat tergantung pada suplai dan stok CPO pada tahun depan. "Hadirnya La Nina memang akan meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) sehingga menambah suplai dan stok CPO, namun La Nina yang berkepanjangan akan berpotensi mengganggu tingkat produksi," ungkap Jenti.
Menurut dia, harga pasar saat ini mengindikasikan ekspektasi pasar atas ketidakseimbangan supply dan demand hingga kuartal pertama 2021. Sebagai gambaran, harga jual CPO kontrak pengiriman Februari 2021 sejak pertengahan November 2020 berkisar antara US$ 800 per ton-US$ 825 per ton, naik dari sebelumnya yang berkisar US$ 700 per ton-US$ 790 per ton.
Oleh sebab itu, untuk menghadapi fluktuasi harga CPO, Dharma Satya Nusantara menyiapkan sejumlah strategi. Pertama, mengupayakan dan mempertahankan cost leadership sehingga tidak rentan terhadap fluktuasi harga.
Kedua, mengupayakan inovasi yang berbasis teknologi sehingga mengurangi pekerjaan manual dan menjadi lebih efisien. Ketiga, menerapkan protokol kesehatan yang baik sehingga kegiatan operasional tetap berjalan lancar dan tidak terkendala oleh Covid-19.
Baca Juga: Ini alasan Menko Airlangga proyeksikan harga CPO di 2021 naik
Astra Agro Lestari juga cukup yakin pada perencanaan dengan dua skenario tersebut. Untuk menghadapi kondisi ke depannya, Astra Agro juga akan rutin melakukan evaluasi berkala tiap tiga bulan sekali.
"Dari evaluasi tersebut, nanti akan terlihat mana yang harus dikerjakan tidak peduli keadaan apa pun, mana yang bisa ditunda, dan mana yang dibatalkan bila kondisi tertentu terjadi," kata Santosa. Pasalnya, Santosa ingin AALI menjadi perusahaan yang lentur (agile) untuk mencapai cost leadership tanpa kehilangan fokus jangka panjang.
Untuk tahun depan, AALI menyiapkan capital expenditure (capex) antara Rp 1 triliun-Rp 1,5 triliun. Minimal Rp 1 triliun digunakan untuk tanaman muda, penanaman kembali (replanting), serta perawatan infrastruktur dan non-kebun. "Maksimal Rp 1,5 triliun apabila kondisi skenarionya memungkinkan nantinya," ucap Santosa.
Dharma Satya Nusantara juga menyiapkan capex sekitar Rp 1 triliun untuk tahun depan. Sebagian besar capex bakal dialokasikan untuk proyek biomassa yang digunakan perusahaan sebagai alternatif bahan bakar pabrik pengolahan kelapa sawit. Dharma Satya Nusantara belum berencana melakukan replanting secara besar-besaran dalam waktu dekat.
Baca Juga: Sejumlah emiten sawit catat kinerja berbeda, ini kata analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News