Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi atau Credit Default Swap (CDS) tenor lima tahun Indonesia akhir-akhir ini mengalami kenaikan. Tren ini terjadi bersamaan dengan gejolak yang melanda pasar saham Tanah Air.
Berdasarkan data di situs World Government Bonds, CDS tenor lima tahun Indonesia berada di level 91,66 per Minggu (23/3). Angka ini telah meningkat 11,08% dalam sepekan terakhir. CDS Indonesia juga naik 28,82% dalam sebulan terakhir dan 30,76% dalam enam bulan terakhir.
Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menyampaikan, peningkatan persepsi risiko investasi ini dipengaruhi oleh banyaknya dana asing yang keluar baik dari pasar saham, obligasi, maupun sektor riil. Sebagai contoh, investor asing mencatatkan net foreign sell dari pasar saham Indonesia sebanyak Rp 33,2 triliun secara year to date (ytd) hingga 21 Maret 2025.
Keluarnya arus dana asing bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dari eksternal. Di antaranya kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menimbulkan gejolak geopolitik, konflik Israel-Palestina yang kembali mencuat, hingga krisis politik di Turki yang membuat bursa saham di negara tersebut terpuruk.
Baca Juga: Techno9 Indonesia (NINE) Sambut Investasi Besar dari Investor Singapura
Walau begitu, Teguh menganggap faktor eksternal tidak membawa pengaruh yang begitu besar bagi para investor asing yang ada di Indonesia. Justru, investor asing lebih mengkhawatirkan kondisi internal Indonesia yang diliputi ketidakpastian.
Belakangan ini, pemerintah mendapat sorotan atas berbagai kebijakan baru yang menimbulkan gelombang protes dari kalangan masyarakat. Contohnya, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang dikritik lantaran ada risiko kepentingan politik yang melibatkan petinggi-petinggi di institusi tersebut.
Belum lagi, pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI juga mengundang kontroversi sehingga aksi demonstrasi pecah di bebeberapa kota besar. Gelombang protes dari masyarakat kemungkinan kembali terjadi ketika pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jadi membahas RUU Polri.
“Berbagai kebijakan yang dipertanyakan ini kemudian mendapat sorotan dari media asing. Dari situlah investor-investor asing mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi di Indonesia, sehingga mereka jadi takut investasi di sini dan untuk sementara memutuskan keluar,” ungkap dia, Minggu (23/3).
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy juga mengatakan, suhu politik di Indonesia memang memanas belakangan ini usai serangkaian aksi demonstrasi terjadi seiring kontroversi kebijakan pemerintah. Hal ini tentu memengaruhi persepsi risiko investasi di Indonesia.
Selain itu, CDS Indonesia juga naik sebagai imbas atas penurunan rating pasar saham nasional oleh dua lembaga internasional, yakni Morgan Stanley dan Goldman Sachs.
Peningkatan level CDS Indonesia ini turut memberatkan langkah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa waktu mendatang. Apalagi, IHSG juga terpapar oleh beberapa sentimen negatif yang terjadi di dunia internasional.
“Tentunya berat bagi IHSG, tapi mudah-mudahan tidak sampai turun di bawah level 6.000,” kata Budi, Minggu (23/3).
Meski risiko volatilitas pasar masih ada, Budi memproyeksikan, IHSG dapat bergerak ke kisaran level 6.400 pada akhir kuartal I-2025. Sementara sampai akhir tahun nanti, ia memprediksi IHSG akan berada di kisaran 6.700—6.800.
Dia juga memperkirakan saham-saham dari emiten di sektor industri sawit dan pangan berpotensi tetap tumbuh pada 2025 selama harga Crude Palm Oil (CPO) global tidak mengalami tren penurunan. “Saham yang berpeluang naik atau setidaknya tidak turun kemungkinan berasal dari emiten yang melakukan aksi buyback,” imbuhnya.
Di sisi lain, Teguh memproyeksikan IHSG masih berisiko turun lebih dalam dari kondisi saat ini. Hal tersebut bisa terjadi jika pemerintah tak kunjung mengevaluasi kebijakan-kebijakannya yang berkorelasi dengan kepercayaan investor asing, ditambah kondisi ekonomi nasional memburuk.
“Bukan tidak mungkin IHSG bisa jatuh ke kisaran 5.000. Tapi harapannya tentu pemerintah jangan lagi membuat kebijakan aneh-aneh, sehingga pasar modal bisa pulih,” terang Teguh.
Namun, dia belum bisa merekomendasikan saham-saham pilihan untuk saat ini, mengingat kondisi pasar masih masih tak menentu. Alhasil, investor disarankan untuk wait and see terlebih dahulu.
Baca Juga: Analis Beberkan Penyebab Meningkatnya Risiko Investasi (CDS) Indonesia
Selanjutnya: Menjelang Ramadan, Penjualan Garudafood Naik 8% Dibanding Tahun Lalu
Menarik Dibaca: Komunitas Kampus Saham Gencar Edukasi Investasi Saham Bertanggungjawab
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News