Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Di awal tahun ini, emiten pakan ternak menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah curah hujan yang tinggi, sehingga berpotensi mengganggu produksi jagung, bahan baku utama pakan ternak. Imbasnya, kinerja emiten pakan ternak pada kuartal pertama tahun ini bisa terganggu.
Analis BCA Sekuritas Johanes Prasetya memprediksikan, produksi jagung pada kuartal I-2017 mungkin di bawah ekspektasi. Ini seiring program swasembada pemerintah dan larangan impor jagung untuk pemenuhan pakan ternak. Di saat yang sama, produksi dalam negeri terkendala cuaca. "Sudah banyak petani yang mengganti tanaman jagung ke padi karena curah hujan tinggi," ungkap Johanes dalam risetnya, Rabu (8/3) pekan lalu.
Menurut Johanes, tak sedikit lahan petani jagung rusak lantaran tergenang air. Sehingga potensi gagal panen jagung pada kuartal satu membayangi petani.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di Indonesia cukup tinggi mulai dari kuartal ketiga tahun lalu hingga pengujung kuartal satu tahun ini. Karena itu, Johanes memprediksi pasokan jagung pada kuartal I-2017 akan terganggu.
Sejatinya, emiten pakan ternak sudah mengantisipasi kelangkaan jagung dengan melakukan substitusi sebesar 50% ke gandum. Selain itu, siklus penanaman jagung hanya terganggu satu kali dari total frekuensi mencapai tiga kali dalam setahun.
Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada juga menilai, kondisi cuaca saat ini bisa mengganggu produksi jagung pada 2017. Minimnya pasokan di kuartal pertama kemungkinan akan mengerek harga jual jagung. "Khususnya bagi emiten yang tidak memiliki produksi jagung sendiri," tutur Reza, Minggu (12/3).
Dengan begitu, biaya produksi akan meningkat dan membuat margin keuntungan tertahan. Maka itu, saat dihadapkan dengan tingginya harga bahan baku, manajemen emiten pakan ternak harus pintar-pintar mencari alternatif pengganti jagung sebagai bahan baku pakan ternak. Reza meramalkan, tahun ini rata-rata laba emiten pakan ternak hanya tumbuh di kisaran 5%.
Analis MNC Securities Yosua Zisokhi juga tidak menampik emiten masih sulit mendapat suplai bahan baku pakan ternak tahun ini. Terutama melihat kondisi iklim saat ini dan larangan impor jagung. "Tapi belum menjadi masalah besar. Kalau memang mendesak, pasti pemerintah kembali membuka keran impor," ujar Yosua.
Harga DOC
Selain itu, emiten juga sudah mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku jagung. Strategi lainnya, emiten pakan ternak akan mengompensasi kenaikan biaya produksi, dengan mengerek harga jual produknya kepada konsumen. Walhasil, kenaikan harga bahan baku tak akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Menurut Yosua, iklim bisnis unggas tahun ini masih positif bagi emiten pakan ternak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bagus dengan peningkatan daya beli. Ini mendorong permintaan protein hewani. Dengan demikian, bukan hanya positif bagi penjualan ayam broiler, bisnis ayam berumur sehari (DOC) juga berpotensi meningkat.
Yosua masih merekomendasikan overweight untuk sektor pakan ternak, dengan saham pilihan buy JPFA dan CPIN. Ia memasang target harga kedua saham itu masing-masing Rp 1.800 dan Rp 1.400 per saham. Adapun Johanes mempertahankan rekomendasi neutral untuk sektor pakan ternak, meski produksi jagung di kuartal kedua akan membaik.
Dalam risetnya, Johanes mencatat, harga DOC pada kuartal I-2017 turun jadi Rp 4.300 dari kuartal IV-2016 sebesar Rp 4.732 per ekor.
Johanes menilai, rendahnya harga jual DOC turut menekan margin keuntungan emiten pakan ternak. Meski, permintaan tahun ini masih bisa bertambah. "Potensinya masih besar karena daging unggas termasuk yang paling murah," kata Johanes.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News