Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Rupiah yang terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berdampak negatif bagi kinerja emiten. Apalagi bagi emiten yang masih menggantungkan bahan baku impor, seperti emiten sektor konsumer.
Pekan lalu, rupiah sempat menyentuh level terendahnya sejak Agustus 1998 yakni Rp 13.052 per dollar AS. Namun para analis menilai, efek keadaan tersebut tak akan sebesar tahun lalu.
Analis Samuel Sekuritas Tiesha Narandha Putri berpendapat, fluktuasi rupiah memang berdampak negatif bagi emiten konsumer, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Maklum, antara 50%-60% bahan baku emiten tersebut berasal dari luar negeri. Meski begitu, Tiesha menilai, efeknya tak seperti tahun lalu. Sebab, di tahun ini, pelemahan rupiah diikuti pelemahan harga komoditas global seperti gandum. "Penurunan harga komoditas menutupi efek dari pelemahan rupiah," kata Carrel Mulyana, Analis AM Capital.
Jika pelemahan rupiah terus berlanjut, kemungkinan, emiten akan menyiasati dengan menaikan harga jual rata-rata atau average selling price. Analis Danareksa Sekuritas Jennifer F. Yapply dalam riset pada 9 Februari 2015 berpendapat, kenaikan harga jual ini merupakan salah satu cara menjaga profitabilitas. Apalagi, pelemahan rupiah ini akan membuat biaya produksi meningkat.
Meski begitu, Jennifer menilai, para emiten di sektor konsumer tak akan menaikkan harga dalam waktu dekat. "Perusahaan masih memerlukan waktu sebelum meningkatkan harga jual," tulis dia. Pasalnya, tahun lalu emiten konsumer telah menaikkan harga jual dengan alasan yang sama.
Tingkat nilai tukar akan lebih stabil di tahun ini, sehingga dapat membatasi kerugian selisih kurs. Tiesha menambahkan, rata-rata emiten telah menaikkan harga jual 5% tahun lalu. Dan, kenaikan harga jual yagn terlalu agresif bisa membuat penurunan merosot. Maklum, daya beli masyarakat menengah bawah bisa tergerus.
Para analis memprediksi, produsen barang konsumsi baru akan mulai menaikkan harga jual antara kuartal II hingga kuartal III-IV tahun ini. Sementara, Carrel bilang, membutuhkan waktu bertahap bagi para emiten yang ingin menaikkan harga jual. Contohnya ICBP yang menaikkan harga produk susu, seperti susu cair dan susu kental manis berlabel Indomilk, hingga sebesar 20%.
Dalam menaikkan harga jual, perusahaan membagi dua tahap. Pertama, Januari 2014 menaikkan harga hingga 10%. Kedua, Februari 2014 dengan angka yang sama.
Selain itu, Tiesha dan Carrell mengingatkan, ada pula emiten konsumer yang merasakan efek positif pelemahan rupiah. Mereka adalah emiten dengan porsi ekspor besar. Contohnya MYOR. Per September 2014, porsi ekspor MYOR 38,66%. "Kinerja MYOR memang sensitif terhadap keadaan rupiah," jelas Tiesha. Maka, tak heran jika price to earning ratio (PER) MYOR terbilang mahal, yakni 61,95 kali dari rata-rata industri 14,41 kali.
Meski begitu, ia melihat sektor konsumer di tahun ini masih memiliki prospek baik. Daya beli masyarakat telah pulih setelah tahun lalu turun karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Carrel bilang, keadaan itu juga diikuti perekonomian Indonesia yang membaik, terlihat dari indikator ekonomi yang positif ditandai dengan deflasi selama dua bulan. Apalagi, ada perkirakan bahwa penurunan harga komoditas masih akan berlanjut.
Melihat kondisi ini, Tiesha memproyeksikan, tahun ini laba bersih perusahaan konsumer masih akan naik 17%. Carrel memilih ICBP sebagai jagoan sektor konsumer. Sebab, valuasi ICBP lebih rendah dibandingkan yang lain, yakni 34,67 kali. Sementara Tiesha merekomendasikan hold ICBP dan buy ROTI. Jennifer merekomendasikan buy untuk ICBP dan ROTI serta sell untuk UNVR.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News