Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham-saham yang tergabung dalam indeks LQ45 melemah belakangan ini. Tak heran, year to date (ytd), indeks LQ45 minus 2,07%. Meski demikian, emiten sektor pertambangan dan perbankan pada tahun ini diperkirakan masih akan berkinerja positif.
Berdasarkan rilis laporan keuangan, kinerja emiten LQ45 bervariasi pada 2017. Pada sektor perbankan misalnya, pertumbuhan pendapatan single digit ditorehkan BBCA (7,61%) dan BMRI (6,98%). Satu emiten mencatatkan kinerja negatif yaitu BJBR yang minus 2,97%. Sedangkan emiten yang pendapatannya tumbuh double digit yakni BBNI (11,59%), dan BBTN (13,35%).
Dari sisi laba bersih, emiten perbankan mencatatkan kinerja yang baik. Dari enam emiten, lima di antaranya memiliki pertumbuhan double digit yakni BBRI (10,69%), BBCA (13,12%), BMRI (49,49%), BBNI (20,09%) dan BBTN (15,6%). Sementara, laba BJBR hanya tumbuh 4,99%.
Dari keenam emiten perbankan tersebut, rata-rata pertumbuhan pendapatannya sebesar 7,76% dan laba bersih 18,99%.
Kemudian, dari sektor energi dan pertambangan, beberapa emiten mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang baik. Misalnya, ADRO (29,08%), PTBA (38,5%), ANTM (38,96%), dan PGAS (1,19%). Sedangkan dari kinerja laba bersih, ADRO mencatatkan pertumbuhan 44,43%, PTBA tumbuh 123,13%, ANTM tumbuh 110,63%. Sedangkan PGAS masih minus 52,96%.
Franky Riyandi Rivan, analis Kresna Sekuritas sepakat, dua sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi pada 2017. Kinerja emiten di kedua sektor tersebut diprediksi akan berlanjut pada tahun ini. Meskipun pada sektor pertambangan, belakangan tertekan kinerja sahamnya, karena ada kebijakan domestic market obligation (DMO).
Menurut Franky, sektor pertambangan masih ditopang dari tingginya harga jual batubara pada harga pasar global. Oleh karena itu, kinerja batubara masih memiliki daya dorong. Tahun ini, pihaknya juga masih menjagokan kedua sektor tersebut. Untuk emiten, dia menjagokan BBCA dan PTBA. “PTBA target kami Rp 4.000,” lanjutnya, Selasa (13/3).
Untuk sektor perkebunan, Franky masih menilai netral. Meskipun penguatan dollar AS terhadap rupiah bisa membuat positif penjualan perusahaan dan lebih kompetitif. Hanya saja, sektor ini masih diberatkan oleh adanya moratorium lahan. “Masih susah bagi mereka untuk ekspansi buka lahan baru,” paparnya.
Sedangkan sektor LQ-45 yang diprediksi bisa menjadi laggard, yakni emiten dengan rugi kurs besar. Dengan kata lain, emiten yang tertekan karena penguatan mata uang dollar AS. Dia mencontohkan emiten seperti KLBF, dan ASII, karena rata-rata masih mengimpor bahan baku maupun produk dari luar negeri. “Jadi itu salah satu alasannya, dari akhir Januari sampai sekarang, ASII cenderung melemah,” ujar Franky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News