Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan nilai tukar tampaknya belum menemui ujung meski berbagai kebijakan moneter telah diupayakan. Mata uang Garuda bahkan diprediksi masih akan terus tertekan oleh sejumlah sentimen negatif hingga akhir kuartal III-2018.
Kepala Ekonom Maybank Indonesia Juniman, menyebut setidaknya ada tiga faktor utama yang akan membebani laju rupiah hingga akhir September. Pertama, sikap pelaku pasar yang masih wait and see terhadap kondisi politik dalam negeri jelang gelaran Pemilu di tahun depan.
"Pasar menanti tanggal 10 Agustus, di mana calon presiden dan wakilnya yang akan maju dalam Pemilu ditentukan. Sampai saat itu, investor akan cenderung memilih memegang dollar AS ketimbang rupiah yang berisiko," ujar Juniman, Jumat (20/7).
Kedua, ketidakpastian yang besar juga datang dari perang dagang yang masih bergulir, terutama antara AS dan China. Apalagi, perang dagang mulai merembet kondisi nilai tukar yuan China yang melemah sehingga ikut memicu mata uang Asia, termasuk rupiah, ikut terseret.
Selanjutnya, tekanan akan kian menguat jelang pertemuan pejabat The Fed atau FOMC meeting pada September mendatang. "Tekanan bukan dari ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga tahun ini, tapi dari penantian pasar terhadap proyeksi kebijakan The Fed di tahun 2019," kata Juniman.
Jangan lupa juga, di kuartal III, emiten masih akan gencar melakukan pembayaran dividen sehingga kebutuhan dollar akan kembali bertambah tinggi.
Melihat paduan sentimen tersebut, Juniman memproyeksi rupiah masih akan bergerak melemah dalam rentang Rp 14.200-Rp 14.700 per dollar AS. Apalagi, melihat saat ini rupiah sudah menembus level Rp 14.500.
Tak jauh berbeda, Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, memprediksi di akhir kuartal III-2018 rupiah akan berada pada level Rp 14.600 per dollar AS. Faktor yang menurutnya akan paling berpengaruh pada rupiah antara lain pengetatan moneter AS dan konflik perang dagang yang menjadi-jadi.
"Dalam kondisi seperti ini, level (rupiah) berapapun bisa terjadi. Pemerintah dan BI harus lebih cermat melihat trigger dan dampak pelemahan rupiah supaya langkah intervensi yang dilakukan tepat. Kalau tidak, hanya akan jadi seperti menabur garam di air laut," kata Enrico, Jumat (20/7).
Untuk akhir tahun, Enrico bahkan telah merevisi target nilai tukar rupiah dari sebelumnya Rp 14.000 menjadi Rp 14.700 per dollar AS. Ia memproyeksi, pengetatan moneter AS masih akan menjadi pemicu utama pelemahan rupiah, bahkan hingga pertengahan tahun depan.
Juniman lebih optimistis melihat posisi rupiah di akhir tahun. Ia memperkirakan, rupiah bisa kembali menguat pasca berakhirnya hajatan The Fed di tahun ini, serta ketidakpastian politik dalam negeri cenderung mereda.
"Akhir tahun, harusnya rupiah bisa kembali menguat ke level Rp 13.700 hingga Rp 14.000 per dollar AS," imbuh Juniman.
Juniman juga berharap, penguatan rupiah di akhir tahun juga bisa disorong oleh neraca dagang yang terjaga surplus. Sebab, kebijakan menaikkan suku bunga pada akhirnya hanya bersifat temporer dan berpotensi memberatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News