Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mencatatkan kinerja yang mumpuni, kini rupiah justru berbalik arah. Pada 5 Juni, kurs rupiah sempat menyentuh level Rp 13.878 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara pada penutupan Jumat (17/7), rupiah sudah berada di level Rp 14.730 per dolar AS. Artinya sejak 5 Juni silam, rupiah sudah terdepresiasi hingga 6,14%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pelemahan rupiah dalam beberapa waktu terakhir tidak terlepas dari keluarnya dana asing dari bursa saham. Bhima menyebut, setidaknya dana asing sebesar Rp 4,7 triliun sudah keluar dalam sebulan terakhir.
“Hal ini tidak terlepas dari proyeksi bank dunia bahwa Indonesia berisiko jatuh ke jurang resesi. Ditambah lagi dampak resesi di Singapura dan penanganan virus corona yang belum optimal juga menjadi faktor negatif di pasar,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (17/7).
Baca Juga: Kurs rupiah melemah 1,86% dalam sepekan ke Rp 14.703 per dolar AS
Lebih lanjut, Bhima juga menyebut outflow dana asing juga didorong oleh pembagian dividen oleh emiten yang menjadi siklus di setiap kuartal III-2020. Ketika dividen diterima maka akan ada transfer uang ke negara asal investor.
Bhima memperkirakan tren negatif rupiah masih berpeluang untuk berlanjut pada Agustus. Terlebih pelaku pasar tengah menunggu rilis data pertumbuhan kuartal II-2020 pada 5 Agustus nanti.
“Jika ternyata kontraksinya lebih dalam dibanding proyeksi pemerintah akan berujung pada aksi jual di sektor keuangan. Jika kondisi tersebut terjadi, bukan tidak mungkin rupiah akan kembali melemah ke kisaran Rp 16.000 per dolar AS-Rp 16.500 per dolar AS di akhir Juli sampai Agustus nanti,” tambah Bhima.
Baca Juga: Kurs rupiah diproyeksikan tertekan pada sepekan ke depan
Sementara dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia, Bhima menyebut Indonesia saat ini hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga. Dengan melihat lambatnya serapan belanja pemerintah dan stimulus fiskal sejauh ini, Bhima menilai resesi memang sulit dihindari.
Oleh sebab itu, ke depan faktor yang menjadi kunci pergerakan rupiah adalah seberapa dalam resesi di Indonesia dan ketahanan cadangan devisa maupun kebijakan moneter lain untuk intervensi rupiah. “Tentu juga terkait dengan berapa lama prospek pemulihan terjadi dan seperti apa kesiapan pemerintah dalam menangani virus corona dan potensi gelombang keduanya. Keputusan untuk pemberlakuan PSBB yang lebih ketat tentu akan mempengaruhi ekspektasi pelaku pasar,” pungkas Bhima.
Dengan kondisi ini, Bhima memproyeksikan rupiah pada akhir tahun akan berada dalam rentang Rp 16.300 per dolar AS-Rp 17.000 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News