Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga Minyak mentah global kembali anjlok meski sempat rebound setelah anjlok ke level terendah lebih dari lima tahun. Merosotnya harga minyak terjadi karena organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) gagal mengurangi laju produksi.
Tahun depan minyak diperkirakan masih akan jatuh lagi kendati sudah anjlok cukup dalam tahun ini. Pasalnya, permintaan minyak belum akan membaik di tengah perlambatan ekonomi global dan produksi shale oil atau minyak serpih Amerika Serikat (AS) sebagai pengguna minyak terbesar di dunia terus mengalami peningkatan. Di sisi lain, OPEC belum mau memangkas produksi. Tidak hanya itu, dollar AS kian perkasa di tengah spekulasi kenaikan suku bunga The Fed.
Mengutip data Bloomberg, selasa (2/11) pukul 17.30 WIB harga West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Januari di New York Merchatile Exchange turun 0,8% dari hari sebelumnnya menjadi US$ 68,46. Dalam sepekan harga telah anjlok sebesar 7,6%.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri memperkirakan akhir tahun harga minyak kemungkinan masih akan menguat terbatas lantaran penurunannya yang sudah cukup tajam tahun. Apalagi menurutnya, akhir tahun akan terjadi musim dingin di bebera kawasan yang memiliki empat musim sehingga permintaan akan energi akan naik.
Hans memprediksi akhir tahun minyak akan bergulir dikisaran US$ 65 –US$ 70 per barel. Namun tahun depan, Hans melihat minyak bisa lebih anjlok lagi jika permasalah fundamental minyak belum berakhir. “Saya memperkirakan bisa jatuh di bawah US$ 60 per barel,” ungkap Hans.
Menurutnya, anjloknya harga minyak mentah diakibatkan oleh perlambatan ekonomi global terutama negara konsumen minyak terbesar seperti China yang mengakibatkan penurunan permintaan. Sementara stok minyak di AS negara pengguna minyak terbesar di dunia terus meningkat setelah ditemukannya teknologi shale oil. Minyak mengalami over supllai sementara OPEC pemasok terbesar di pasar minyak global enggan memangkas produksi pada pertemuan yang digelar pekan lalu.
Hans mengatakan, sebenarnya OPEC sengaja tidak menurunkan laju produksi produksi dengan tujuan minyak semakin jatuh sehingga AS berhenti memproduksi shale oil. Sebab jika harga tinggi, AS akan terus meningkatkan produksi shale oil, sehingga tahun depan AS bisa menjadi pengekspor minyak.
“OPEC tak mau itu terjadi dan mereka tetap ingin mendominasi pasar minyak,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News