Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) melonjak tajam pada Senin (12/5) setelah AS dan China mencapai kesepakatan untuk sementara menurunkan tarif balasan satu sama lain.
Langkah ini meredakan kekhawatiran bahwa perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia dapat memicu resesi global.
Dalam kesepakatan tersebut, AS akan menurunkan tarif tambahan terhadap barang-barang impor dari China dari 145% menjadi 30%.
Sementara China memangkas tarif terhadap produk asal AS dari 125% menjadi 10%. Kebijakan ini akan berlaku selama 90 hari.
Baca Juga: Sejumlah Mata Uang Utama Keok Terhadap Dolar AS, Ini Sebabnya
Pelemahan ketegangan ini melebihi ekspektasi pasar, mengingat banyak investor sebelumnya memperkirakan perundingan awal hanya akan menghasilkan sedikit atau bahkan tanpa kesepakatan konkret.
"Ini hanya berlaku 90 hari, jadi pada dasarnya hanya membeli waktu tambahan. Saya kira AS sedikit mengalah," ujar Marc Chandler, Kepala Strategi Pasar di Bannockburn Global Forex, New York.
"Saya sendiri tidak setuju dengan tarif ini sejak awal, tapi setelah diterapkan, AS terlihat mundur tanpa mendapatkan banyak timbal balik. Kita hentikan tarif balasan kita, mereka pun begitu, dan kita kembali ke titik awal."
Dolar Perkasa, Euro dan Yen Tertekan
Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama termasuk euro dan yen naik 1,2% ke level 101,58.
Euro anjlok 1,17% ke US$1,1115, mencatatkan penurunan harian terbesar sepanjang 2025.
Baca Juga: Kesepakatan AS-China: Tarif Dipangkas, Dolar Menguat Tajam!
Aset berisiko pun naik, dengan indeks S&P 500 menguat lebih dari 2%, sementara mata uang safe haven seperti yen dan franc Swiss tertekan.
Dolar naik 1,91% terhadap yen ke level 148,12—tertinggi sejak 3 April. Terhadap franc Swiss, dolar menguat 1,4% ke 0,843, tertinggi sejak 10 April.
Poundsterling Inggris juga melemah 0,8% ke US$1,3198, mencatatkan penurunan harian terbesar sejak 7 April.
Meskipun dolar telah menguat selama tiga pekan berturut-turut berkat ekspektasi positif atas kesepakatan dagang, greenback masih tercatat melemah 2,2% sejak 2 April, hari ketika mantan Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif besar-besaran yang sempat mengguncang kepercayaan pasar terhadap aset-aset AS.
Baca Juga: Bill Gates Janji Sumbang Ratusan Miliar Dolar, Sebut Elon Musk ‘Pembunuh’ Anak Miskin
Fokus ke Data Inflasi AS
Pasar kini mengalihkan perhatian ke data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS yang akan dirilis Selasa (14/5), serta data penjualan ritel April pada Kamis (16/5), untuk menilai dampak ketegangan dagang terhadap ekonomi dan kemungkinan arah kebijakan suku bunga The Fed.
Ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan Bank Sentral Eropa (ECB) juga menurun pada Senin, seiring membaiknya prospek pertumbuhan.
Saat ini, pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin kemungkinan baru terjadi pada pertemuan The Fed bulan September, bukan Juli seperti pekan lalu.
Di pasar mata uang Asia, yuan China menguat 0,64% terhadap dolar AS ke level 7,194 per dolar, memperkuat sentimen risiko.
Baca Juga: Rupiah Melemah ke Rp 16.534 Per Dolar AS Hari Ini (12/5), Mata Uang Asia Bervariasi
Ketegangan Geopolitik Mereda
Pasar juga mendapat dorongan positif dari meredanya ketegangan geopolitik. India dan Pakistan mengumumkan gencatan senjata setelah empat hari bentrokan yang sempat mengguncang pasar global.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyatakan kesiapan untuk bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Turki pada Kamis (16/5).
Jika terjadi, pertemuan tersebut akan menjadi dialog langsung pertama antara kedua pemimpin sejak bulan-bulan awal invasi Rusia pada 2022.
Selanjutnya: 5K Disco Run Segera Hadir, Astra Land Indonesia Ajak Masyarakat Nostalgia Era 80-an
Menarik Dibaca: 5 Film Paling Populer di Letterboxd Minggu Ini, Thunderbolts Teratas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News