kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dolar AS melonjak lalu tumbang, apa ada valas yang aman?


Senin, 30 Maret 2020 / 13:38 WIB
Dolar AS melonjak lalu tumbang, apa ada valas yang aman?
ILUSTRASI. Salah satu safe haven yang diuntungkan adalah dolar Amerika Serikat (AS) yang dua pekan lalu melesat.


Reporter: Arvin Nugroho | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor masih memburu safe haven di tengah kekhawatiran yang terus meningkat seiring dengan kenaikan korban akibat pandemi virus corona. Salah satu safe haven yang diuntungkan adalah dolar Amerika Serikat (AS) yang dua pekan lalu melesat.

Namun, stimulus tak terbatas yang digelontorkan oleh Federal Reserve berpotensi melemahkan dolar AS. Apakah the greenback masih akan tetap diburu?

Indeks dolar yang mencerminkan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama dunia melesat naik pada sepekan yang berakhir 20 Maret lalu. Kenaikan mingguan indeks dolar ini merupakan kenaikan tertinggi sejak 2008. Indeks dolar berada di 102,82 pada Jumat (20/3).

Tapi, sepekan lalu, indeks dolar turun dengan laju yang paling dalam sejak 2009. Indeks dolar turun lagi ke 98,36 pada Jumat (27/3). Siang ini, indeks dolar berada di 98,68.

Baca Juga: Terus melemah, rupiah melorot 1,34% selepas tengah hari

Analis Global Kapital Investama Berjangka Alwy Assegaf mengatakan, pelemahan dolar AS saat ini membuat kans mata uang lain cenderung merata dan tak ada unggulan. Kepanikan pasar terhadap kondisi perekonomian global menjadi salah satu sebab.

Federal Reserve baru-baru ini telah berjanji mengeluarkan stimulus tak terbatas untuk membantu perekonomian AS. Kongres AS telah menyetujui untuk pemberian stimulus sebesar US$ 2 triliun pada Jumat (27/3). Sehingga menyebabkan peredaran dolar AS kian meningkat yang memicu pelemahan the greenback.

Tak berhenti di situ, pada Senin (30/3) The Fed kembali menawarkan stimulus sebesar US$ 3 triliun. “Ke depan, kemungkinan dolar AS akan ditinggalkan cukup lebar,” kata Alwy.

Baca Juga: Hingga tengah hari, harga emas spot masih turun di US$ 1.616,16 per ons troi

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, minat investor terhadap yen Jepang yang cukup besar masih menjadi pesaing kuat dolar AS. Apalagi, karakteristik yen Jepang sebagai mata uang safe haven belum terkikis. Faktor itu yang menyebabkan minat investor terhadap yen Jepang masih besar.

Meski demikian, minat investor dalam melirik mata uang Asia lainnya cenderung kurang. Sebab Sutopo melihat mata uang Asia masih tertekan. Sedangkan dolar Australia juga belum menunjukkan daya tariknya terhadap investor. Itu tak terlepas dari ketergantungan dolar Australia terhadap aktivitas industri dan ekonomi di China.

Dalam meredam kekhawatiran pasar akibat virus corona, pemerintah Australia telah mengeluarkan sejumlah stimulus. Reserve Bank of Australia (RBA) telah menggelontorkan A$ 3 triliun untuk membeli obligasi pemerintah pada Kamis (26/3).

RBA juga mengatakan akan membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder untuk menjaga yield sebesar 0,25% tenor tiga tahun dengan jumlah tak terbatas. “Secara keseluruhan, Asia Pasifik memiliki masalah yang sama akibat virus corona yang menghantam aktivitas industri dan jasa,” kata Sutopo.

Kans poundsterling untuk menjadi pesaing dolar AS pun tak terlalu besar. Analis Monex Investindo Futures Faisyal melihat kondisi fundamental poundsterling yang relatif terguncang menjadi sebabnya. Penyebaran virus corona yang terus meningkat di Inggris berpotensi untuk melemahkan GBP ke depan.

Tak hanya dibayangi oleh virus corona, Inggris juga dihadapkan permasalahan akibat Brexit. Adanya perdebatan antara Inggris dan Uni Eropa dalam upaya penanganan virus corona berpotensi menghambat langkah pencegahan. Sehingga pemulihan ekonominya juga tertunda. “Selain virus corona, Brexit berpotensi untuk kembali menekan poundsterling,” kata Faisyal.

Faisyal melihat kondisi mata uang euro pun tak jauh berbeda dari poundsterling. Meski sempat menguat setelah adanya wacana untuk menerbitkan obligasi bersama kawasan Uni Eropa, euro berbalik arah kembali. Pasalnya, rencana itu ditentang oleh beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman, Belanda dan Austria.

Baca Juga: Pemerintah tarik pinjaman luar negeri US$ 1,15 miliar pada Februari 2020

Penolakan itu mengacu pada kondisi negara Eropa lainnya seperti Italia, Portugal, dan Spanyol yang memiliki tingkat utang yang tinggi. Faisyal mengatakan euro berpotensi untuk kembali melemah di waktu yang akan datang.

Karena belum ada kekompakan antara negara-negara yang tergabung di Uni Eropa dalam mengatasi virus corona. “Ditambah lagi, belum ada gebrakan besar dari Europe Central Bank (ECB) sejauh ini,” kata Faisyal.

Senada, Alwy menilai euro saat ini memiliki kondisi yang cukup buruk. Pemicunya adalah jumlah korban meninggal akibat virus corona di Eropa yang terbilang tinggi, terutama Italia dan Spanyol.

Baca Juga: Bursa Asia turun meski berbagai stimulus diluncurkan

Kendati demikian, Alwy memperkirakan euro dan poundsterling akan banyak diburu investor. Pasalnya, kedua mata uang tersebut dalam posisi yang cukup rendah sehingga memicu investor untuk membeli. Stimulus AS yang berlaku akan menjadi angin segar bagi euro dan poundsterling untuk kembali menguat.

Melihat kondisi itu, Alwy menghitung nilai euro terhadap rupiah pekan depan akan bergerak di rentang Rp 17.624–Rp 18.500 per euro. Untuk poundsterling, Alwy menghitung akan bergerak di rentang Rp 19.707–Rp 20.500 per poundsterling.

Sementara Sutopo menghitung nilai yen Jepang terhadap rupiah ke depan akan bergerak di rentang Rp 147,50–Rp 150,00 per yen Jepang. Untuk dolar Australia, Sutopo menghitung akan bergerak di rentang Rp 9.700–Rp  10.000 per dolar Australia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×