Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mata uang rupiah terus mengalami depresiasi. Sepanjang Juli saja, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (US$) sudah melemah sebesar Rp 328. Pada tanggal 1 Juli, nilai tukar rupiah terhadap The Greenback hanya sebesar Rp 9.934 per US$, sementara pada hari Rabu (24/7) kemarin nilai tukarnya sudah mencapai Rp 10.262 per US$.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningsih melihat, jika nilai tukar rupiah sudah menembus level Rp 10.200 per US$, maka level selanjutnya yang akan ditembus adalah 10.400 per US$. Namun, dia mengaku tidak tahu pasti jangka waktunya.
Menurutnya, semua tergantung kepada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia. "Namun dari sisi Pemerintah memang sulit membuat kebijakan yang akan berdampak cepat terhadap nilai tukar rupiah. Persoalan yang dihadapi pemerintah adalah dari sisi neraca transaksi berjalan yang masih defisit, serta tingginya inflasi karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Nah semua itu akan sulit diperbaiki dalam jangka pendek," urai Lana panjang lebar.
Dia menambahkan, hal yang bisa membantu menahan laju depresiasi lebih dalam adalah kebijakan yang dikeluarkan BI. Lana menilai, bila BI menaikkan tingkat suku bunga lagi, hal itu bisa memberikan sentimen positif bagi rupiah.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan transaksi swap atau hedging mata uang US$ juga bisa dijadikan suplemen penguat rupiah. "Jika banyak perbankan BUMN yang melakukan hedging dollarnya dalam bentuk rupiah, maka bisa menambah cadangan US$ dalam jangka pendek, dengan begitu pelemahan rupiah bisa sedikit tertahan," ujar Lana, Rabu (24/7) kepada KONTAN.
Sementara itu Ekonom Bank mandiri, Destry Damayanti melihat bila di awal Juli rupiah menguat, kondisi itu lebih dikarenakan faktor global, dimana adanya wacana penghentian quantitative easing oleh bank sentral Amerika Serikat dalam waktu dekat. Nah, kali ini, faktor dalam negeri yang lebih kuat mempengaruhi. Yakni, kondisi fiskal Pemerintah, terutama dari sisi neraca transaksi berjalan yang terus mengalami defisit.
Destri melihat rupiah akan kembali menguat jika telah ada keseimbangan supply and demand yang baru. Sementara keseimbangan baru itu bisa terjadi jika Pemerintah membuat kebijakan baru. Kebijakan baru tersebut, harus bisa memberikan sentimen positif terhadap pasar, sehingga persepsinya terhadap rupiah membaik.
Dipihak lain, Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN), A. Prasetiantoko mengatakan penguatan rupiah baru bisa terjadi di akhir tahun, sekitar bulan September. Meskipun demikian, Prestiantoko melihat pelemahan rupiah tidak akan menyentuh level 11.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News