Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Emiten-emiten di Indonesia dinilai memiliki daya tahan terkuat dibanding dengan perusahaan-perusahaan yang ada di negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Hal ini terungkap dalam hasil survey yang di lakukan lembaga rating Standard & Poor's (S&P) Ratings Services.
Xavier Jean, Analis Kredit S&P mengatakan, kondisi neraca keuangan yang pruden membuat emiten-emiten Indoensia mampu meminimalisir risiko penurunan kualitas kredit untuk kurun waktu setahun ke depan.
"Perusahaan-persahaan terbesar di Indoensia memiliki manajemen neraca keuangan yang lebih konervatif dibanding korporasi di Singapura, Thailand, dan Filipina," ujarnya dalam keterangan resminya.
S&P menilai para emiten besar di Indonesia lebih menumpuk likuiditas sebagai bantalan untuk menghadapi risiko yang berpotensi muncul di Indonesia. Masih dangkalnya sistem perbankan dan pasar modal sebagai sumber pendanaan disertai tingginya bunga membuat perusahaan sulit memperoleh pendanaan.
Namun, di sisi lain, hal ini memiliki dampak positif. Sebesar 80% dari total 15 korporasi besar yang menjadi target penilaian, memiliki profil risiko keuangan yang setara dengan level investment grade.
Selain itu, tingkat utang yang rendah, arus kas operasional yang terjaga, penggunaan belanja modal yang tidak berlebihan, dan gemuknya likuiditas perusahaaan. Xavier memperkiarkan, utang bersih korporasi Indonesia hanya tumbuh 15% dalam kurun waktu akhir 2008 hingga kuartal I-2014.
Pertumbuhan utang ini jauh di bawah rata-rata pertumbuhan utang koporasi-korporasi besar di Filipina yang tumbuh tiga kalilipat dan Singapura yang naik hampir dua kalilipat. Oleh karena itu, profil kredit emiten-emiten Indonesia terus mengalami peningkatan kendati terjadi perlambatan pertumbuhan pendapatan.
Misalnya, aja, di tahun 2013, rata-rata pertumbuhan pendapatan sekitar 13%. Angka ini di bawah rata-rata pertumbuhan pendapatan di tahun 2012 dan 2011 yang masing-masing mencapai 19%.
"Kami memperkirakan kualitas kredit perusahaan-perusahaan Indonesia akan sedikit tergerus dalam 12 bulan mendatang," jelas Xavier.
Hal itu terjadi lantaran melambatnya pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran kas. Seementara, para korporasi tersebut juga harus mengeruk likuditas lebih dalam dan berpotensi menarik pinjaman lebih besar untuk membiayai pertumbuhan kinerja. Namun, potensi penurunan kualitas kredit yang terjadi tidak seburuk seperti perusahaan-perusahaan lain di kawasan ASEAN.
Adapun, perusahaan-perusahaan itu adalah PT Astra International Tbk (ASII), PT Charoen Pokphand Indoensia Tbk (CPIN), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP).
Selain itu, ada juga PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Kalbe Farma Tbk (KBLF), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Telekomunikasi Indonesiaw Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT United Tractors Tbk (UNTR), dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News