Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia kembali melorot, bahkan di awal pekan ini penurunannya nyaris menembus level di bawah US$ 20 per barel. Analis memperkirakan, dalam jangka pendek harga minyak global berpeluang menyentuh level US$ 15 per barel.
Mengutip Bloomberg, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2020 di New York Mercantile Exchange turun 5,72% ke US$ 20,28 per barel Senin pagi. Harga tersebut sekaligus jadi level terendah sejak Februari 2002 atau lebih dari 18 tahun lalu.
Sementara harga minyak brent untuk pengiriman Mei 2020 di ICE Futures pun turun 8,30% menjadi US$ 22,86 per barel.
Baca Juga: Gara-gara virus corona, satu proyek pembangkit listrik panas bumi molor
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo melihat, prospek harga minyak masih berada di bawah tekanan karena efek sebaran virus corona atau Covid-19 yang semakin masif.
"Ditambah lagi, perjanjian negara anggota pengekspor minyak (OPEC+) yang berantakan," kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Senin (30/3).
Untuk jangka pendek, Sutopo memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran support US$ 15 per barel, jangka menengah US$ 25 per barel dan di jangka panjang berpeluang kembali ke area US$ 50 per barel.
"Investor bisa mulai beli di harga US$ 20 per barel dengan averging beli bertahap. Jangka menengah harga masih di kisaran US$ 25 per barel hingga US$ per barel," tegasnya.
Sutopo menegaskan, butuh upaya keras agar harga minyak kembali ke area US$ 50 per barel. Syaratnya, persebaran virus corona perlu berakhir, OPEC perlu mencapai kesepakatan, dan ekonomi perlu kembali normal.
Sekadar mengingatkan, pada titik ini tekanan harga minyak tidak hanya terganggu sentimen pandemi, awal Maret OPEC bertanggungjawab atas penurunan 30% lebih harga minyak. Kegagalan dalam pembicaraan antara OPEC dan Rusia mengenai manajemen pasokan minyak pada awalnya sempat mendorong harga minyak global ke posisi terendah dalam empat tahun.
Baca Juga: Harga minyak WTI turun ke US$ 20 per barel, terendah dalam 18 tahun terakhir
Kondisi tersebut berlanjut saat Rusia menolak proposal OPEC untuk memperluas pemangkasan pasokan dengan sekutunya dengan tambahan 1,5 juta barel per hari menjadi lebih dari 3 juta barel per hari hingga akhir tahun. Alhasil, ini menyebabkan pecahnya aliansi dan dimulainya perang harga pada pasar, karena Arab Saudi kesal dengan tanggapan Rusia. Di saat yang sama Arab Saudi juga melepaskan output di tengah penurunan permintaan karena lockdown China yang merupakan konsumen terbesar dari output Arab Saudi.
Asal tahu saja, Arab Saudi sudah menggunakan teknik yang sama di 2014 untuk menjaga kestabilan produksinya, mereka berpandangan bahwa harga minyak yang rendah menawarkan lebih banyak manfaat jangka panjang daripada melepaskan pangsa pasar dalam upaya memaksa Rusia untuk patuh.
"Lagi pula, Arab Saudi memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, karena itu satu-satunya negara yang dapat menahan harga minyak rendah untuk periode waktu yang lebih lama daripada yang lain tanpa terganggu ekonominya," jelasnya.
Di sisi lain, sikap Arab Saudi telah menyakiti anggota OPEC lainnya seperti Nigeria dan Aljazair, sehingga mengalami kerugian lebih dari setengah miliar dolar per hari karena kehilangan pendapatan. Bahkan, Amerika Serikat (AS) juga terpengaruh secara tidak langsung.
Oleh karena itu, setelah kegagalan koordinasi, perang harga masih panjang, karena Rusia berencana untuk meningkatkan produksi mulai 1 April, dan sedang mempertimbangkan untuk meningkatkannya sebesar 40.000 barel per hari (bpd) hingga 50.000 bpd dalam sebulan. Mereka juga diharapkan akan meningkatkan output dengan 200-300Mbbls/d dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Arab Saudi yang memiliki lebih banyak ruang untuk meningkatkan output sedang bersiap untuk meningkatkan pasokan hingga 12 juta bpd-13 juta bpd atau di atas kapasitas produksi berkelanjutan.
Baca Juga: Harga minyak tertekan corona, kinerja hulu migas diklaim masih terjaga
Arab Saudi juga menawarkan diskon signifikan untuk minyak mentah terutama di daratan Eropa pada April, sekaligus menegaskan tujuannya untuk menekan tidak hanya Rusia, tetapi juga Kanada dan AS dari pasar inti.
"Dengan strategi agresif ini, Saudi bertujuan mempertahankan atau bahkan meningkatkan pangsa pasar kerajaan," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Arab Saudi berkontribusi sekitar 25% total cadangan minyak dunia, sekitar 70% dari kapasitas produksi global, dan sebagai pengekspor minyak mentah terbesar di dunia dengan selisih yang lebar. Hal ini berarti, tidak ada yang benar-benar dapat membawa anggota OPEC kembali ke meja perundingan.
Namun, pertemuan OPEC yang dijadwalkan berikutnya pada Juni masih berlangsung, meskipun mungkin sudah terlambat karena surplus telah terisi untuk kuartal II-2020. Kekhawatiran akan permintaan tetap menjadi sebab utama, karena negara-negara terus melakukan lockdown karena Covid-19 dan menetapkan batasan perjalanan yang sangat ketat.
Harga minyak telah turun lebih dari 70% sejak Oktober 2019, dimana guncangan harga minyak juga meningkatkan risiko kredit di pasar keuangan. "Pandemi ini sangat membebani harga minyak, yang bisa mengarah pada kontraksi permintaan besar-besaran pada basis tahunan, lebih dari 10 juta bpd," jelasnya.
Selain itu, permintaan bahan bakar global diprediksi bakal turun sebanyak 15% hingga 20% pada kuartal kedua sebagai dampak dari pandemi virus corona.
Sutopo menyimpulkan bahwa global tengah menghadapi satu tahun dengan banyak ketidakpastian, dengan risiko resesi yang tinggi di seluruh dunia.
"Kondisi risk-off, bersamaan dengan penurunan tajam, terkait virus dalam permintaan minyak dan prospek untuk meningkatkan produksi dari Arab Saudi dan Rusia, telah menekan harga minyak turun ke level terendah sejak 18 tahun dan diperkirakan akan mempertahankan tekanan pada minyak," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News