Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Mereka yang menggeluti bursa saham, paham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) enggak permah imun dari sifat volatil. Harga mudah berubah, bahkan tak jarang harga-harga saham bergerak di luar perkiraan.
Pada saat tertentu, laju naik-turunnya bak roller coaster dan sering sulit diprediksi. Tahun 2013, IHSG pernah karam 23,9% ke 3.968 di bulan Agustus. Padahal di masa itu, IHSG sempat naik 20,8% dari 4.317 dari awal tahun menjadi 5.215 hanya dalam waktu lima bulan.
Tahun 2015 IHSG pernah melesat hingga di titik tertinggi 5.523 di minggu kedua April hanya dalam waktu tiga bulan. Sejak itu, volatilitas membawa IHSG nyungsep ke 4.121 pada 28 September 2015 karena tekanan yang datang dari luar maupun dalam negeri.
Seiring dengan penguatan rupiah terhadap dollar AS dari kisaran Rp 14.800 ke Rp 13.300-an, IHSG perlahan-lahan mendaki. Belum lama ini, rupiah menyembul 9% hanya dalam sepekan. IHSG pun terangkat dalam waktu singkat dari 4.208 ke 4.507, Kamis (15/10).
Pertanyaannya, apakah memomentum pendakian IHSG masih akan berlanjut? Sampai kapan? Bagaimana Anda menyikapinya?
Menunggangi momen
Di tengah volatilitas tinggi, IHSG pada akhirnya menyisakan dua jenis investor, yaitu mereka yang masih punya amunisi cash berlimpah dan investor yang justru “nyangkut” di beberapa saham yang harganya anjlok. Jika Anda seorang Richard Herman Driehaus, sudah pasti akan menjawab “buying high and selling higher” dalam memanfaatkan momentum.
Meskipun bukan investor yang pertama kali mengail cuan dari memanfaatkan kesempatan, Richard terkenal sebagai bapak “momentum investing”. Beberapa teknik yang ia gunakan menjadi dasar dari metode strategi tersebut.
Prinsipnya, mengambil keuntungan di tengah volatilitas pasar dengan mengambil posisi jangka pendek pada saham yang sedang menanjak dan menjualnya di saat yang tepat begitu harganya menunjukkan tanda-tanda akan kembali merosot. Setelah itu, pindahkan dana untuk ambil posisi serupa. Begitu seterusnya.
Mari kita bahas satu per satu berdasarkan jenis investor di golongan manakah Anda.
• Modal besar
Jika Anda tergolong investor bermodal besar alias punya cash tinggi, sekarang ini masih ada kesempatan lantaran cukup tersedia banyak saham murah. Masuk sekaligus dengan kekuatan penuh atau bertahap?
Lo Kheng Hong, si “Warren Buffett Indonesia” yang selalu berpatokan pada sisi-sisi fundamental, bilang, sebaiknya Anda masuk dengan kekuatan penuh. Tanamkan semua modal Anda ke saham-saham yang menurut Anda bagus dan murah. “Kalau dia sudah menemukan perusahaan yang bagus dan murah, dia tak bisa lagi menunggu untuk membeli saham. Dia tidak bisa lagi menunda atau membeli secara bertahap,” tegas Kheng Hong kepada Tabloid KONTAN, Rabu (14/10).
Saham apa yang harus dibeli? Seperti biasa, rekomendasi dari Kheng Hong adalah saham-saham dari emiten yang punya tata kelola manajemen baik, sektor usahanya bagus, dengan laba besar, sedang bertumbuh, dan harganya murah.
Memang, prinsip Kheng Hong sedikit berbeda dengan Richard yang mengambil untung dalam waktu pendek. Orientasi investasinya selalu jangka panjang alias bukan seorang trader. Masalahnya, lanjut Kheng Hong, banyak orang tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Banyak investor beli saham tanpa menyelidiki fundamental perusahaan. Orang membeli kucing di dalam karung. “Sehingga, dia membeli secara bertahap untuk melindungi ketidaktahuannya,” cetus Kheng Hong.
Suria Dharma, Kepala Riset Buana Capital, menganjurkan, Anda yang baru masuk bursa pertama kali, sebaiknya memang memperhatikan fundamental dulu, baru teknikal. “Beli di bawah, jual di atas,” kata Suria.
Sependapat dengan Kheng Hong, pakar saham Ellen May bilang, boleh saja masuk dengan kekuatan penuh. Asalkan, uang yang Anda gunakan untuk modal bukan dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Istilah Ellen, uang dingin. Uang dingin ini juga bukan dana darurat, dana cadangan, atau dana hasil dari berutang.
Meski begitu, menurut Ellen, idealnya investor memang masuk secara bertahap jika punya modal besar. Waktu yang paling bagus belanja saham saat IHSG di area support sekitar 4.000–4.150. Atau, kalau menurut versi Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, masuklah saat IHSG di area support 4.400–4.500.
Namun, jika IHSG tak terkoreksi sampai level tersebut (support), Anda tetap saja masih bisa belanja saham secara bertahap sampai bulan November ini untuk investasi jangka panjang dengan periode sekitar satu sampai dua tahun.
Jika ingin masuk bursa, kata Ellen, sebenarnya paling pas awal Oktober lalu. Namun, lanjut dia, sekarang masih banyak saham terdiskon. Sebut saja BBRI, SMGR, BBNI, KAEF, LPCK, dan sebagainya. Sedangkan jika ingin menabung saham alias ditahan dalam rentang jangka panjang, saham-saham KLBF, UNVR, dan BBRI bisa menjadi pertimbangan.
Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada dan Analis First Asia Capital David Sutyanto sepakat, Anda masuk saja secara bertahap jika punya modal besar. Pasalnya, kata David, tak ada yang tahu kapan bottom yang tepat atau kapan reversal bisa terjadi. “Sebaiknya saat ini sudah mulai mengakumulasi saham dengan porsi 20%–30% dari total uang,” tegas David.
Reza mengusulkan, Anda bisa perhatikan saham-saham sektor perbankan, konstruksi, ritel, dan industri dasar untuk masuk dalam koleksi portofolio Anda.
• Sedang nyangkut
Nah, bagaimana jika Anda tergolong investor yang telanjur nyangkut? Meminjam istilah Reza, mereka ini termasuk para nyangkuters. Contoh saja, ada yang nyangkut di saham-saham bluechips, saham second-liner, atau bahkan saham-saham gorengan.
Meski berbeda horison dengan Richard, Kheng Hong punya tips sendiri bagi investor nyangkuters. Apalagi, nyangkuters itu sudah tak lagi punya dana untuk belanja. Cara Kheng Hong, cari saham bagus yang penurunannya lebih banyak. Maksudnya, jika saham bagus yang Anda koleksi sekarang sedang turun, tukarlah dengan saham bagus lainnya yang penurunannya lebih dalam.
Contoh, saham yang Anda koleksi sedang turun 20%. Maka, carilah saham bagus yang lain yang anjloknya lebih dari 20% itu di pasar. “Dia bisa menukarnya,” terang Kheng Hong. Sayang, ia tak menyebut detail nama saham apa saja yang bagus dan sangat murah tersebut. Yang jelas, Kheng Hong menyuruh jual saham Anda sekarang lalu beli saham yang lebih bagus lagi.
Untuk nyangkuters, entah itu di saham bluechips, second-liner, atau gorengan, Ellen bilang, keputusan diambil tergantung saham apa saja yang Anda koleksi. Jika sahamnya masih berfundamental bagus, justru Anda bisa menambah lagi porsi kepemilikan dengan beli di bawah. “Seperti BBRI, WIKA, WSKT, BBCA, BBNI, SMGR, INTP, ASII,” kata Ellen.
Jadi, ada strateginya. Pertama, lihat porsi sahamnya. Berapa besar saham yang nyangkut jika dibandingkan total modal di saham. Kedua, lihat fundamentalnya. Jika fundamental masih bagus, silakan beli lagi karena saat ini masih banyak saham yang sudah terdiskon.
Maksudnya, seandainya kerugian per saham besar, namun porsi saham terhadap total keseluruhan portofolionya kecil, Anda bisa buang dulu. “Apalagi jika fundamentalnya tidak bagus,” tegas Ellen.
Nah, masalahnya, jika yang nyangkut fundamentalnya tidak bagus dan porsinya besar terhadap total portofolio? Anda buang saja secara bertahap. Kalau perlu, sampai semua jenis saham itu habis. Tukar dengan saham KLBF, UNVR, atau BBRI. Cuma, risikonya, bisa berdampak secara psikis. Karena Anda sedang cut loss.
Reza punya pendapat lain. Bagi para nyangkuters, sebaiknya saham koleksi dibiarkan terlebih dahulu. Fokuslah untuk memanfaatkan kenaikan yang terjadi. Bagi yang masih memiliki dana cash, maka modal tersebut dapat dimanfaatkan untuk trading buy secara bertahap di saham yang tergolong movers.
Biasanya, lanjut Reza, ketika market sudah naik, saham-saham big caps akan lari duluan. Anda bisa masuk ke BBRI, BBCA, ASII, atau yang lainnya.
Atau Anda bisa juga cut loss. Hanya, hitung dengan cermat dan bandingkan dengan target keuntungan Anda. Pada saat keuntungan yang ditargetkan sudah tercapai, dan bisa bisa menutup semua saham-saham yang nyangkut, maka saham-saham nyangkut bisa Anda lepas semua. Tapi jika belum menutup kerugian, cut loss secara bertahap saja.
Singkatnya, tegas Reza, ambil keuntungan dari saham X untuk menutup loss di saham Y. Cara ini kurang lebih sama untuk saham-saham bluechips, second-liner, atau saham gorengan. “Karena sebagai nyangkuters, tidak hanya lihat cut loss dan sejenisnya, tapi juga melihat ada atau tidaknya potensi kenaikan pada saham-saham nyangkut. Sehingga, dia bisa memanfaatkannya untuk mengurangi loss yang ada,” tutur Reza.
Sementara cara David juga hampir mirip dengan cara-cara sebelumnya. Pertama, cut loss dengan risiko kerugian yang cukup besar dengan harapan bisa mengalokasikan dana tersebut ke saham-saham yang lebih berpotensi. Kedua, average down, yaitu membeli kembali saham-saham yang dimiliki dengan harga yang lebih murah. Cuma, strategi ini tak akan berhasil dengan dana yang pas-pasan. “Lagipula, cenderung lebih berisiko dibandingkan dengan cut loss,” tegas David.
Bagi nyangkuters yang mengoleksi saham bluechips, sebaiknya tetap hold. Atau, segera lakukan average down. Dengan catatan, tetap harus melihat kinerja keuangan dan prospek perusahaan ke depan.
Mereka yang nyangkut di second-liner, lihat kembali prospek, sektor, dan kinerja perusahaan. Lihat juga tingkat likuiditas saham tersebut. Jika likuid, maka dimungkinkan untuk hold atau average down. Jika tidak likuid, maka cut loss saja. Sedangkan nyangkuters yang pegang saham gorengan, lihat apakah masih ada likuiditas. Jika tidak ada likuiditas, maka sebaiknya cut loss saja.
David Budiono, Direktur PT Astra Honda Motor, seorang investor saham, bercerita, para investor jangan lihat kondisi sekarang dari satu sisi saja. “Kalau ekspektasi masih di bawah, saya hold dulu,” ujar David.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 04-XIX, 2015
---
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News