Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Lonjakan harga timah di pasar global seharusnya menguntungkan PT Timah Tbk (TINS). Sayangnya, penurunan produksi menyebabkan kinerja perusahaan pelat merah ini kurang optimal.
Di London Metal Exchange (LME), harga timah akhir pekan lalu sudah menyentuh US$ 26.350 per ton. Ini adalah harga tertinggi sepanjang 2010. Dihitung dari harga terendah US$ 15.500 per ton (7/6), harga timah sudah melonjak 70%. "Hingga akhir tahun, harga timah dunia bisa mencapai US$ 28.000 per ton," ramal Abrun Abubakar, Sekretaris Perusahaan TINS.
Sayang, TINS terpaksa melewatkan momentum lonjakan harga itu. Cuaca buruk menghalangi perusahaan ini menggenjot produksi timahnya. Bahkan, target produksi TINS tahun ini pun terancam tidak tercapai. “Curah hujan yang tinggi mengganggu produksi,” kata Direktur Utama TINS Wachid Usman.
Semula TINS menargetkan produksi timahnya 50.000 ton. Tapi, akibat cuaca buruk, manajemen TINS menduga, realisasi produksi timah paling banter 45.086 ton.
Meski sadar harga timah bisa naik lebih tinggi, menurut Abrun, TINS tidak akan menahan barang. "Setiap produksi langsung kami jual,” ujarnya.
Sebenarnya, menurut Analis Mandiri Sekuritas Yohan Setio, lonjakan harga timah di pasar global berkaitan dengan pasokan timah dari Indonesia, sebagai penghasil timah utama. "Curah hujan yang cukup tinggi membuat produksi tak maksimal. Padahal, permintaan sangat tinggi," ujarnya.
Analis Sucorinvest Central Gani Frederick Daniel Tanggela menambahkan, cuaca buruk juga mempersulit penambang-penambang kecil di kawasan Bangka Belitung. Jadi, ia perkirakan, volume ekspor timah Indonesia tahun ini akan turun. Indikasinya, sampai Juli lalu, ekspor timah kita hanya 52.133 ton, turun 12% ketimbang periode yang sama 2009.
Volume produksi TINS, Frederick menduga, akan cenderung sama dengan tahun lalu, yakni sekitar 45.086 ton. Ini sama dengan prediksi manajemen TINS.
Harga sudah mahal
Buntut dari cuaca buruk tersebut, lanjut Yohan, biaya penambangan TINS bisa dipastikan juga meningkat. Sebab, biaya sewa kapal dan suku cadang kapal juga naik.
Alhasil, sampai akhir tahun ini, Yohan memperkirakan TINS akan mengantongi pendapatan senilai Rp 8,6 triliun dengan laba bersih Rp 702 miliar. Adapun, Frederick meramal, pendapatan TINS sekitar Rp 9,19 triliun dengan laba bersih Rp 730 miliar.
Pada tahun 2009, TINS mengantongi pendapatan Rp 7,70 triliun, turun 14,91% daripada tahun 2008 sebesar Rp 9,05 triliun. Ujungnya, laba bersihnya terpangkas 76,62% dari Rp 1,34 triliun menjadi hanya Rp 313,75 miliar.
Mengingat prospek TINS yang kurang cerah, Yohan dan Frederick merekomendasikan jual terhadap saham TINS. Masing-masing mematok harga wajar di Rp 2.300 dan Rp 2.625 per saham. "Saham TINS diperdagangkan pada PE 2010 sebesar 19,3 kali dan PE 2011 sebesar 16,4 kali. Sudah sangat mahal," jelas Frederick.
Tapi Analis Danreksa Sekuritas Metty Fauziah merekomendasikan tahan terhadap saham TINS. "Sudah melampaui target harga Rp 3.000," jelasnya. Kemarin, saham TINS dihargai Rp 3.350 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News