kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,78   5,05   0.57%
  • EMAS1.363.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cerita Dima Djani, CEO Alami yang Fokus Investasi di Sektor Private


Sabtu, 29 Juni 2024 / 08:47 WIB
Cerita Dima Djani, CEO Alami yang Fokus Investasi di Sektor Private
ILUSTRASI. Menurut Group CEO Alami, Dima Djani, berinvestasi merupakan sebuah seni yang diinterpretasikan sesuai dengan nilai yang dianut masing-masing orang.


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap orang memiliki nilai dan tujuan masing-masing dalam memilih instrumen investasi. Itu pula yang dilihat oleh Group CEO Alami, Dima Djani. Dia melihat berinvestasi merupakan sebuah seni yang diinterpretasikan sesuai dengan nilai yang dianut masing-masing orang.

Dima mulai belajar berinvestasi selama di bangku kuliah di RMIT University Singapura. Kala itu, Dima mengambil jurusan Business Management dengan fokus studi Entrepreneurship. Alasannya, dia memang ingin membuat usaha sendiri sejak dulu.

“Namun, saat itu saya masih bingung mau bisnis apa. Ditambah, saat lulus di tahun 2008 itu sedang krisis global. Padahal, saya sedang pertukaran pelajar ke Amerika Serikat (AS),” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (28/6).

Alhasil, Dima pun kembali ke Indonesia dan masuk ke Citibank pada tahun 2009. Pria kelahiran tahun 1987 itu bekerja di industri perbankan hingga tahun 2018, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari sana dan mengambil magister di INSEAD dengan jurusan Business Administration and Management.

“Di sini, kebetulan lingkungannya mendukung untuk bikin bisnis. Akhirnya, saya pun mendirikan Alami Fintech di tahun 2018,” ungkapnya.

Baca Juga: Timothius Martin, CMO Pintu: Disiplin Penting Untuk Menjaga Nilai Investasi

Dengan sejumlah materi dan diskusi terkait instrumen investasi selama kuliah, Dima memutuskan untuk menjadi investor yang konservatif. Mayoritas asetnya ditaruh di deposito di bank syariah. Katanya, bunganya sampai sekitar 6,5% setahun.

“Deposito ini aman dan return-nya bagus. Instrumen ini juga sangat mudah mengawasi dan memindahkan dananya,” tuturnya.

Selain di deposito, Dima memilih menaruh portofolionya di sektor privat. Alasannya, karena fluktuasinya bisa lebih terukur dan tidak terpengaruh sentimen yang tidak penting.

“Instrumen di pasar reguler itu pergerakannya sangat fluktuatif dan mudah terpengaruh gosip. Likuiditasnya juga berbeda dengan pasar reguler di AS yang mengacu langsung kinerja fundamental perusahaannya,” ungkapnya.

Instrumen pilihan pertamanya di sektor private adalah sektor riil, yaitu di perusahaan tertutup dan project based.

Return dari perusahaan tertutup itu bisa di atas 50%, tergantung pembagian dividennya seperti apa. Yang project based ini salah satunya adalah investasi untuk produksi animasi Nussa Rara,” paparnya.

Baca Juga: Direktur Metropolitan Land (MTLA) Olivia Surodjo Memetik Hasil Disiplin Investasi

Terakhir, Dima juga berinvestasi di bisnis peer to peer (P2P) lending. Di sini, return yang bisa didapatkan rata-rata sebesar 15%-17%.

Untuk gambaran umumnya, Dima menaruh 70% aset di deposito bank syariah, 20% di sektor riil (perusahaan tertutup dan proyek), dan 10% di P2P lending.

Selain bicara soal untung, Dima juga pernah mengalami kerugian yang cukup dalam selama perjalanannya berinvestasi. Insiden ini dia alami saat berinvestasi di P2P lending sekitar tahun 2019. Kala itu, dana Dima di P2P lending tak bisa kembali.

Meskipun tak menyebut jumlah pasti, dana yang ditaruh Dima di perusahaan P2P lending itu sebesar dua digit. Dia pun kehilangan 30% dari modal awal yang ditempatkan di awal.

“Namun, ini bagian dari risiko investasi yang memang harus ditanggung,” ungkapnya.

Secara umum, Dima memang sangat menjunjung tinggi nilai kebermanfaatan dan syariah dalam memilih instrumen investasi. Hal ini juga yang membuatnya tak terlalu tertarik untuk memilih saham atau reksadana syariah.

Baca Juga: Johannes Suriadjaja: Mengatur Portofolio Investasi Butuh Seni dan Kesabaran

“Cara kerjanya sama saja seperti pasar reguler. Syariahnya hanya label atau hanya sesuai pergerakan indeks. investor juga tetap harus membayar manajer investasinya sebanyak sejumlah persen,” paparnya.

Hal ini juga membuatnya tak tertarik melirik instrumen investasi di luar instrumen privat. Alasan utamanya adalah rasa senang Dima dalam prosesnya, seperti upaya melihat pendiri perusahaan yang tepat hingga diskusi perjanjian kerja sama sebelum tanda tangan kesepakatan.

Menurut Dima, berinvestasi itu layaknya seni yang memiliki nilai filosofis dalam pembuatan karyanya (pemilihan portofolio). Apapun pilihan instrumennya, pasti sudah sesuai dengan nilai pribadi sang investor.

Dima mengingatkan kembali bahwa investasi biasanya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dan mempertahankan kekayaan. Saat ini, dia belum merasa memiliki banyak modal, sehingga belum bisa berinvestasi di semua instrumen yang ada.

Baca Juga: Tips Agar Resolusi Keuangan 2024 Terwujud, Tak Cuma Jadi Impian

Alhasil, Dima memutuskan untuk memilih instrumen yang mencerminkan keuntungan yang baik dengan dampak yang positif, khususnya sesuai dengan nilai keislaman yang dianutnya.

“Misalnya, Nussa Rara itu memiliki tujuan untuk mengedukasi anak-anak tentang nilai-nilai Islam. Ini justru yang tidak bisa diukur nilainya,” ungkapnya.

Meskipun begitu, Dima tidak melihat semua orang harus mengikuti apa yang dia yakini. Sebab, setiap orang memiliki nilai masing-masing dan cara pandang berbeda-beda.

“Yang penting, seperti kata Warren Buffet, jangan menaruh dana di sesuatu yang kita tidak tahu seperti apa cara kerjanya,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×