Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjalani pendidikan dan karier di benua seberang tak mencegah Co-Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Cashbac Mario Gaw, untuk berinvestasi. Buktinya, ketika pertama kali menjajaki pekerjaan sebagai programmer di Kanada, Mario langsung tertarik mengulik informasi mengenai instrumen yang tepat guna mengelola dana yang telah ia sisihkan.
Namun, ia menyadari keterbatasan waktu serta pengetahuannya tentang pasar modal di Kanada, sehingga sulit baginya membekali diri secara mendalam. Padahal, ia telah menyisihkan dana untuk berinvestasi.
Berbekal ajakan dan sedikit arahan dari rekan kerjanya, pilihan pertama Mario jatuh pada instrumen reksadana. “Saya tahu ada dua tipe investor, yang investasi berdasarkan fundamental perusahaan dan yang berdasarkan teknikal atau tren sahamnya alias trader. Saya sebenarnya enggak punya waktu untuk menjadi keduanya,” ujar Mario.
Melihat kenyataan itu, Mario merasa reksadana merupakan instrumen yang tepat bagi dirinya yang merupakan investor pemula dan minim waktu. Sebab, reksadana sudah terdiversifikasi dengan penempatan dana di saham maupun instrumen lainnya, sehingga risiko bisa jadi lebih terukur.
Sayang, preferensinya terhadap reksadana tak berlanjut saat dia memutuskan kembali dan menetap di Indonesia pada 2012 lalu. Ia menarik semua investasinya di Kanada untuk pindah ke Indonesia, dan tak pernah lagi melirik reksadana dalam negeri, karena tidak familiar dengan ragam produk dan kinerjanya.
Barulah di tahun 2017, Mario kembali mantap investasi. Kini ia memilih masuk langsung ke pasar saham. “Pertama kali buka rekening sekuritas, saya cuma berani beli satu lot, lalu tambah jadi dua, tiga, lima lot dan seterusnya. Jumlah emitennya juga satu atau dua,” kata dia.
Lantaran tak memakai jasa broker, Mario mesti menggali sendiri informasi mengenai kinerja perusahan dan saham yang diinginkan. Oleh karena itu prinsipnya satu: membeli saham yang ia tahu bisnisnya dan bahkan ia sendiri menjadi pengguna barang atau jasanya.
Ia pun rutin menyisihkan sekitar 10% dari penghasilannya setiap bulan untuk berinvestasi pada saham. Mario memilih menanamkan dananya pada sejumlah emiten blue-chip yang menurutnya lebih aman.
Saat ini, investasinya ada pada 11 emiten, di antaranya saham sektor perbankan seperti BBCA dan BMRI, serta saham sektor ritel seperti MAPI dan ACES. “Itu emiten-emiten yang saya sendiri adalah konsumennya,” ungkapnya.
Tertarik uang kripto
Selain itu, Mario juga sempat mencoba berinvestasi melalui peer-to-peer (P2P) lending di akhir tahun lalu. Kala itu return yang didapat sekitar 11%–12%.
Namun, lingkungan pertemanannya di dunia digital membawanya mengenal koin kripto. “Saya tergiur juga dan akhirnya pindahkan investasi ke kripto,” cerita dia.
Meski mengaku hanya coba-coba, Mario masih mempertahankan sejumlah dananya pada mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum dan Stellar. Ia pun percaya pada investasi jangka panjang sehingga cenderung menahan dana pada instrumen yang ia yakini memberi imbal hasil menjanjikan.
Mario mendeskripsikan dirinya sebagai investor yang lumayan agresif. Karena itu, ia tak cocok berinvestasi pada instrumen seperti properti dan emas.
Kini, ia juga mengalokasikan sebagian besar investasinya pada instrumen likuid seperti deposito berjangka, karena menyesuaikan dengan profil risiko sang istri yang cenderung lebih konservatif.
Ia juga tak lupa menyiapkan dana darurat sebelum menyebar dananya ke berbagai instrumen investasi sehingga lebih aman secara finansial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News