Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten produsen bijih nikel, PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) berupaya terus mengembangkan bisnisnya. Perusahaan yang beroperasi di kawasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara ini melirik peluang untuk menggelar hilirisasi nikel.
Sejauh ini, DKFT telah mengoperasikan tambang untuk memproduksi bijih nikel sejak 2011 dan feronikel (NPI) sejak 2018 silam. Sejak pemerintah melarang ekspor nikel dalam bentuk mentah, DKFT menjual produknya ke berbagai smelter yang ada di Indonesia.
Direktur Central Omega Resources Andi Jaya mengatakan, pada dasarnya DKFT memiliki rencana untuk masuk ke bidang pengolahan nikel. Namun, perusahaan ini memilih untuk bersikap hati-hati dalam mewujudkan rencana tersebut.
“Sebab, industri nikel di Indonesia berkembang sangat cepat dan persaingannya cukup ketat,” ujar dia ketika paparan publik, Selasa (17/6) lalu.
Dia menjelaskan, industri pengolahan nikel di Indonesia mulai berkembang pada 2015 dan sejak saat itu berbagai jenis smelter dibangun di Tanah Air, terutama di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park di Halmahera.
Baca Juga: Bidik Penjualan 3,4juta Ton Nikel, Central Omega Resources (DKFT) Bakal Akuisisi IUP
Sekitar 70% produk olahan nikel ditujukan sebagai bahan baku stainless steel di pasar global. Pertumbuhan industri stainless steel global ada di kisaran 4% per tahun.
Pertumbuhan ini tidak selalu berjalan mulus, mengingat China sebagai produsen stainless steel utama turut mengalami perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, nikel juga dibutuhkan untuk bahan baku baterai jenis nickel-mangan cobalt (NMC) di industri kendaraan listrik. Permintaan baterai NMC tengah mengalami pertumbuhan, meski mendapat saingan dari baterai jenis lithium ferro phosphate (LFP).
Meski bersikap hati-hati atas dinamika di industri nikel, DKFT tetap memandang bahwa hilirisasi memiliki potensi keuntungan yang menjanjikan secara jangka panjang. DKFT pun telah mencari investor yang bisa membantu perusahaan untuk menggulirkan proyek hilirisasi nikel seperti pembangunan smelter guna mendukung industri baterai kendaraan listrik nasional.
Sayangnya, Manajemen DKFT belum bisa mengungkap identitas calon investor yang hendak diajak kerja sama jika emiten ini masuk ke proyek hilirisasi. Yang terang, DKFT mengklaim telah memiliki kesiapan dari segi infrastruktur pendukung.
Salah satunya adalah DKFT memiliki kawasan industri di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah yang dikelola oleh anak usahanya, yakni PT Kawasan Industri Central Omega. Kawasan industri ini dipandang cukup strategis lantaran berada di dekat mulut tambang nikel DKFT.
“Kami sudah ada lahan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya. Tinggal menunggu investor yang sesuai, di mana sudah ada beberapa investor yang kami jajaki,” ungkap Andi.
Akuisisi Tambang
Di tengah penjajakan untuk ekspansi ke sektor hilirisasi, DKFT juga mencari peluang menambah cadangan dan sumber daya nikel melalui akuisisi Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik produsen nikel lainnya.
Merujuk materi paparan publik, DKFT memiliki total sumber daya mineral bijih nikel sebanyak 183 juta ton serta cadangan sebanyak 93 juta ton. Sekitar 89% cadangan bijih nikel DKFT berupa limonit, sedangkan 20% sisanya adalah saprolit.
Baca Juga: Melesat 105%, Penjualan Bijih Nikel Central Omega (DKFT) Tembus 2,59 Juta Ton di 2024
Data sumber daya dan cadangan bijih nikel DKFT mengacu pada laporan JORC April 2025. Pihak DKFT sendiri telah mengeksplorasi 23% dari total wilayah IUP perusahaan yang seluas 6.175 hektare (Ha).
Feni Silvan Budiman, Direktur Central Omega Resources menyatakan, pihaknya telah melakukan proses due diligence ke beberapa IUP nikel di berbagai daerah Indonesia. Hanya saja, sejauh ini belum ada perusahaan pemegang IUP yang sepakat untuk diakuisisi oleh DKFT.
Dia tidak bisa membeberkan secara gamblang nama perusahaan tambang nikel yang diincar oleh DKFT. Pada dasarnya, DKFT tidak mengacu pada kuantitas IUP yang hendak diakuisisi. DKFT sangat mengutamakan aspek kualitas perusahaan tambang, termasuk dari sisi legalitas dan teknis pertambangan, sebelum agenda akuisisi tersebut direalisasikan.
“Kami ingin IUP yang diakuisisi itu nantinya akan mendukung capaian kinerja perusahaan,” jelas Feni.
Pihak DKFT telah menganggarkan dana capital expenditure (capex) atau belanja modal sebesar Rp 200—300 miliar untuk mendukung agenda akuisisi IUP nikel pada tahun ini. Dana tersebut berasal dari kas internal perusahaan.
Dari sisi proyeksi kinerja, Manajemen DKFT memproyeksikan dapat menjual bijih nikel sebanyak 3,4 juta ton pada 2025. Angka ini lebih tinggi dibandingkan realisasi penjualan nikel perusahaan pada 2024 lalu yakni 2,6 juta ton.
Hingga kuartal I-2025, DKFT telah membukukan volume penjualan nikel sebanyak 932.014 ton. Sedangkan pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, DKFT tidak memperoleh penjualan nikel lantaran Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan belum dirilis oleh pemerintah.
RKAB DKFT baru keluar pada pertengahan 2024. Saat ini pun DKFT sedang memproses revisi RKAB di Kementerian ESDM. Jika revisi ini tuntas, bukan tidak mungkin proyeksi penjualan bijih nikel DKFT akan bertambah.
Andi mengaku, pihaknya beruntung lantaran smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) mulai marak dibangun di Indonesia. Dengan begitu, bijih nikel jenis limonite yang mendominasi total cadangan DKFT dapat lebih mudah terserap oleh perusahaan-perusahaan pengelola smelter HPAL di dalam negeri.
Limonite memang cocok untuk bahan baku produk olahan nikel dari smelter HPAL.
“Sebelum ada smelter HPAL, bijih limonite kami banyak yang terbuang, apalagi posisinya ada di atas. Untuk mengambil saprolit, kami harus menggali limonite dahulu,” pungkas dia.
Selanjutnya: Ini Kata Pengamat Soal Premi Asuransi Aviation Terkontraksi pada Kuartal I-2025
Menarik Dibaca: All England Lawn Tennis Club dan IBM Luncurkan Fitur AI Berikan Proyeksi Pertandingan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News