Reporter: Anna Marie Happy | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Pidato Ben Bernanke, Gubernur The Federal Reserve (The Fed), akhir pekan lalu, sangat ditunggu pasar. Sehari sebelumnya, harga saham, komoditas dan obligasi sudah bergerak menanti pengucuran dana segar. Akhirnya, harapan adanya quantitative easing ketiga (QE-3) benar terjadi.
The Fed berjanji akan membeli surat utang berbasis kredit perumahan US$ 40 miliar tiap bulan sampai akhir tahun. Selain itu, Bernanke mengungkapkan, akan menekan suku bunga rendah jangka panjang. Janji dari The Fed ternyata cukup menggembirakan pasar. Harga saham, komoditas dan lainnya langsung melesat di level tertinggi.
Senior Analyst Harvest International Futures, Ibrahim mengatakan, rencana pembelian obligasi yang dilakukan oleh bank sentral AS ini memang membutuhkan dana baru. Artinya, pemerintah akhirnya harus mencetak uang baru. Dan tentu mengakibatkan inflasi.
Namun, menurut Ibrahim, cetak uang baru juga bisa berakibat positif bagi ekonomi di AS. Sebab para para pelaku usaha di AS bisa mendirikan lapangan kerja baru. Sehingga harapannya, jumlah pengangguran di AS menurun.
Harapan inilah yang membuat pasar cukup menunggu QE-3. Sebab di saat, ekonomi memburuk cara ini sangat membantu pertumbuhan ekonomi. "Bila stimulus tidak jadi diluncurkan, ada kekhawatiran pasar bahwa perekonomian di AS akan lebih buruk dibandingkan krisis 2008," kata Ibrahim.
Analis Senior Monex Investindo Futures, Daru Wibisono pun menambahkan, dengan QE-3 pertumbuhan ekonomi di AS bisa membaik. Sebab dengan mencetak uang baru, maka inflasi akan mencuat. "Namun, meningkatnya inflasi mencerminkan pertumbuhan ekonomi. Uang yang dikucurkan digunakan untuk sektor barang dan jasa dan bisa menambah produksi," ujar dia.
Dampak negatif lain dari dana segar yang mengucur adalah membuat dollar AS melemah. Meski demikian, Daru yakin, pelemahan tersebut tidak akan berdampak negatif.
Stimulus ini juga akan membuat investor beralih ke aset berisiko. Akibatnya, negara emerging market ikut terangkat. Aset lain yang terpengaruh adalah, harga komoditas. Termasuk, emas yang dipilih sebagai safe haven.
Nah, koreksi yang terjadi di pasar saham dan komoditas. Menurut para analis adalah hal yang wajar. Ibrahim bilang, koreksi harga komoditas yang terjadi lebih disebabkan adanya aksi ambil untung (profit taking) para pelaku pasar. Para pelaku pasar juga menghitung, spekulasi kenaikan harga yang terjadi sebelumnya sudah terlalu berlebihan. Akibatnya, harga komoditas dirasa sudah overbought alias jenuh beli.
Selain itu, menurut Ibrahim, ada faktor fundamental lain yang membuat harga komoditas merosot. Seperti misalnya, harga minyak yang terus koreksi disebabkan, jumlah cadangan minyak yang terus naik. Padahal, permintaan cenderung stabil dan mungkin bisa menurun.
Namun, sebenarnya menurut Daru koreksi harga komoditas tidak memberikan efek langsung bagi pertumbuhan ekonomi. Hal yang sangat penting saat ini adalah pertumbuhan ekonomi di AS. Maklum, AS adalah negara pengekspor terbesar di dunia. Akibatnya, efek ke ekonomi global pun bisa terasa. "Bila ekspornya melambat, negara-negara lain juga terkena imbas," papar dia. Jika ekspor membesar maka devisa dan ada tambahan kas negara. Tentunya ini akan berdampak positif bagi ekonomi AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News