Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Beberapa emiten baru yang melantai di bursa tak mendapatkan target maksimal. Kondisi ekonomi dalam negeri dan ketatnya likuiditas mempengaruhi raihan dana IPO emiten.
Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia mengatakan, suku bunga yang tinggi biasanya membuat valuasi ekonomi turun. Hal ini membuat harga saham-saham IPO terasa mahal. "Jadi investor tidak tertarik untuk beli. Serapannya jadi sedikit dan akhirnya emiten menurunkan targetnya," jelasnya Senin (8/12).
Kondisi fundamental dalam negeri juga turut mempengaruhi laporan keuangan calon emiten. Terlebih, banyak perusahaan yang kinerjanya terseret pelemahan rupiah. Hal ini makin membuat nilai saham tampak lebih mahal.
Reza Nugraha, Analis MNC Securities mengatakan, sejak Semester II tahun ini, pasar kekurangan likuiditas. Sehingga, resiko berinvestasi di pasar modal menjadi besar. Di sisi lain, perusahaan yang mendaftar IPO merupakan perusahaan yang kapitalisasi pasarnya tak terlalu istimewa. "Sehingga, investor, terutama investor asing cenderung wait and see dan menunggu IPO lebih besar di tahun depan. Daripada masuk ke saham yang kecil, lebih baik menunggu IPO besar tahun depan," imbuhnya.
Selain itu, sektor yang mencatatkan diri di pasar modal bukan sektor favorit. Satrio menambahkan, melorotnya harga komoditas terutama minyak belakangan ini juga membuat resiko investasi makin tinggi. "Yang mendaftar IPO kan juga banyak yang bergantung dengan harga komoditas," kata dia. Misalnya saja, PT Soechi Lines Tbk (SOCI) yang memangkas harga IPO lantaran harga minyak turun.
Namun, Satrio yakin, tahun depan, terutama di Semester II, saham IPO bakal lebih ramai. Saham konstruksi, konsumer, infrastruktur, dan pelayaran bakal diminati. Sementara saham-saham komoditas selain batubara juga bakal membaik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News