Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina, Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono Triatmodjo
JAKARTA. Bumi Plc dengan eks Presiden Direktur PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), Rosan Perkasa Roeslani, rupanya tengah berseteru panas. Bahkan mereka menempuh jalur arbitrase untuk menuntaskan sengketa.
Pangkal perseteruan mereka adalah menyangkut dana senilai US$ 173 juta milik BRAU, anak usaha Bumi Plc. Bumi Plc menilai Rosan telah menyelewengkan dana tersebut semasa memimpin perusahaan tambang itu dan sepantasnya mengembalikannya.
Namun, dalam pernyataan resminya, Kamis (5/12), Bumi Plc mengungkapkan bahwa Rosan menolak membayar US$ 173 juta. "Rosan Roeslani tak punya niat memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian sesuai dengan tenggat waktu pada 26 Desember 2013," tulis Bumi Plc.
Padahal, papar Bumi Plc, dalam kesepakatan yang diteken Juni 2013, Rosan berjanji membayar awal US$ 30 juta pada 29 September 2013. Tapi, sampai batas waktu itu, Rosan belum membayarnya. Argumentasi yang diajukan Rosan, perjanjian itu dihapuskan, sehingga terbebas dari kewajiban itu.
Gagal menerima pembayaran, Bumi Plc pun menempuh jalur hukum. Bumi Plc memilih membawa sengketa ini lembaga arbitrase di Singapura.
Saat dihubungi KONTAN, Rosan enggan berkomentar lebih banyak terkait tuduhan Bumi Plc ini. "Kasus ini sudah masuk arbitrasi. Saya tidak akan mengungkapkan bukti-bukti dan alasan saya," terang Rosan kepada KONTAN, Kamis (5/12).
Kisruh Bumi Plc versus Rosan ini bermula dari hasil investigasi atas BRAU. Bumi Plc menemukan kerugian senilai US$ 201 juta akibat financial irregularities di BRAU. Rinciannya, US$ 49 juta ada dalam buku tahun 2011 dan US$ 152 juta tercatat di laporan keuangan BRAU tahun 2012 yang tidak jelas penggunaannya.
Ada beberapa proyek yang menjadi alat Bumi Plc untuk menembak penyelewengan yang dilakukan Rosan. Bumi Plc, semisal, mempermasalahkan biaya pembebasan lahan 1.000 hektare (ha) di Tanjung Redeb, Kalimantan Timur milik PT Borneo Parapatan Lestari (BPL).
Dalam wawancara dengan KONTAN, awal Juli 2013, Rosan menyatakan, sejak tahun 2004, BRAU kesulitan menambang di lahan itu karena sudah didiami penduduk. Padahal, lahan itu mengandung cadangan batubara sekitar 50 juta ton.
Guna masuk ke lahan itu, BRAU bersiasat membagi kepemilikan saham BPL. Akhirnya, kepemilikan BPL dikuasai tiga pihak yakni Yayasan Purna Bhakti Praja (Pemerintah Daerah Berau), Yayasan Karya Bhakti Berau (karyawan BRAU), dan masyarakat Berau melalui PT Yahoodata Mediatama.
Belakangan, Bumi Plc menilai aksi pembebasan lahan itu tidak wajar dan meminta Rosan bertanggungjawab dengan Rosan mengembalikan dana US$ 173 juta. Eko Santoso Budi, Presiden Direktur BRAU, juga menyatakan, mayoritas saham BPL dikuasai Rosan.
Berbagai tuduhan itu ditepis Rosan. "Saya tegaskan tidak memiliki saham sepeser pun di BPL," tegas Rosan beberapa waktu lalu. Soal tagihan US$ 173 juta? "Saya tidak tahu alasan Bumi Plc menetapkan jumlah tersebut dan saya mengiyakan saja karena waktu yang terbatas," ungkap Rosan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News