Reporter: Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) mulai berjalan, awal tahun depan. SJSN akan dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan akan dimulai dengan program jaminan kesehatan nasional.
Beroperasinya BPJS kesehatan tentu tidak hanya menguntungkan masyarakat. Industri farmasi juga akan ikut kecipratan rezeki dari pelaksanaan BPJS kesehatan.
Managing Director Investa Saran Mandiri, Jhon Veter menilai, mulai berjalannya program BPJS kesehatan akan mendorong kinerja emiten farmasi di Indonesia. “Pasar industri farmasi di Indonesia juga didorong oleh bertambahnya jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas,” tulis Jhon dalam risetnya, 30 September 2013 lalu.
Analis Sinarmas Sekuritas, Christandi Rheza Miharza sependapat, program jaminan kesehatan nasional akan menguntungkan semua perusahaan farmasi. “Kalau menurut saya yang paling mendapat dampak positif adalah emiten seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), dan PT Indofarma Tbk (INAF),” ujar dia, Jumat (11/10).
Sebab, menurut Christandi, ketiga emiten itu mengandalkan penjualan obat generik. Tak hanya produsen obat, emiten rumah sakit seperti PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) dan PT Sarana Mediatama Metropolitan TBk (SAME) juga akan mendapat berkah dari program BPJS kesehatan ini. "Sebab biaya perawatan rumahsakit juga ada yang dilayani oleh iuran BPJS," terang dia.
Jhon optimistis, jaminan kesehatan akan lebih mendorong pertumbuhan industri farmasi. “Kalau saat ini, industri farmasi tumbuh 12%–13% per tahun, maka diprediksi ke depannya pertumbuhan industri farmasi akan mencapai 15%-16% per tahun,” ujar dia.
Emiten genjot ekspansi
Apalagi, menurut Jhon, beberapa perusahaan farmasi domestik mulai meningkatkan kapasitas produksi obat generik. Ini karena Kementerian Kesehatan menargetkan pada 2014 komposisi pasar obat generik bisa menjadi 90%. “Saat ini posisi obat generik baru 10%–11%, sedangkan di negara maju saja bisa mencapai 70%,” tulis dia.
Dua emiten yang sudah mencoba untuk menangkap potensi ini adalah KAEF dan INAF. "Kedua emiten itu gencar ekspansi untuk rumahsakit dan menambah lini obat generik,” ujar Christandi.
Meski program BPJS akan mendongkrak kinerja, emiten farmasi rentan terhadap pelemahan kurs rupiah. Maklum, kata Christandi, bahan baku pembuatan obat mayoritas masih impor. “Fluktuasi rupiah harus diperhatikan karena 90% bahan baku diperoleh secara impor,” ujar dia.
Christandi mencontohkan, KLBF. Jika nilai tukar rupiah melemah 10%, hitungan dia, laba bersih Kalbe Farma akan menurun sekitar 3%–4%. Dus, margin laba Kalbe pun otomatis menurun dari saat ini sekitar 12,7% menjadi 9%.
Namun, menurut John, KLBF dan PT Tempo Scan Pasific Tbk (TSPC) masih memiliki instrumen lindung nilai alias hedging sehingga kinerjanya masih lebih menarik. "Perusahaan swasta ini memiliki kinerja return of equity (ROE) dan pertumbuhan yang jauh lebih baik dibandingkan dua perusahaan farmasi milik pemerintah, yakni KEF dan INAF," imbuh dia.
Prospek perusahaan farmasi juga ditentukan juga oleh riset dan pengembangan produk. Nah, menurut Jhon, diantara emiten farmasi, hanya Kalbe Farma yang mengalokasikan bujet riset memadai. “Jumlahnya memang baru sekitar 0,67% dari pendapatan perusahaan (KLBF),” ujar dia. Angka tersebut memang lebih kecil jika dibandingkan dengan 20 perusahaan farmasi besar di dunia. Rata-rata perusahaan farmasi dunia menghabiskan 9,4%–17,5% dari pendapatan perusahaan untuk kebutuhan riset dan pengembangan produk.
Tapi, KLBF berpotensi memperbesar dana untuk riset agar bisa mendorong pertumbuhan pendapatan di masa depan. Sebab, kata Jhon, riset dan pengembangan produk baru merupakan penggerak industri farmasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News