Reporter: Yuliana Hema | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bobot saham Indonesia di indeks global seperti, Morgan Stanley Capital International (MSCI) Index terus menyusut. Kenaikan ini tak sebanding dengan semakin banyaknya jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sekitar tahun 2010–2011, bobot saham Indonesia di MSCI Asia ex-Japan bahkan menyentuh 5%. Pada 2025 ini, bobot saham Indonesia di MSCI Asia ex-Japan berada di kisaran 1%.
Padahal di akhir 2010 jumlah emiten di BEI hanya mencapai 398 perusahaan tercatat. Sedangkan per 15 Mei 2025, jumlah emiten tercatat di BEI mencapai 960 perusahaan tercatat.
Baca Juga: IHSG Menguat pada Kamis (15/5), Begini Proyeksinya untuk Perdagangan Jumat (16/5)
Pengamat Pasar Modal Kartika Sutandi menyampaikan sebuah penyedia indeks global, seperti MSCI maupun FTSE tidak melihat seberapa banyak perusahaan yang tercatat di BEI.
“MSCI tidak akan melihat saham yang kecil karena tidak bisa ditransaksikan. BEI seharusnya mengusahakan grup besar seperti Wings dan ABC untuk IPO,” ucapnya kepada Kontan, Kamis (15/5).
Apalagi kenaikan emiten berbanding terbalik dengan saham yang masuk ke indeks global. Untuk itu, Kartika menilai BEI harus menggenjot jumlah emiten yang masuk indeks global.
“Seharusnya KPI (Key Performance Indicator) direksi bursa seharusnya lebih banyak perusahaan yang masuk ke indeks global, minimal satu sampai tiga saham dalam setahun,” kata dia.
Kartika juga menilai otoritas bursa juga seharusnya bisa menyesuaikan dengan ketentuan MSCI. Menurutnya, ini merupakan dukungan otoritas untuk mendukung sahamnya ke pasar global.
Baca Juga: IHSG Naik 0,86% ke Level 7.040 pada Kamis (15/5), PGEO, BMRI, BBRI Top Gainers LQ45
Dia bilang bursa bisa mempertimbangkan untuk menghapus ketentuan papan pemantauan khusus dan Unusual Market Activity (UMA). Kalau pun mau ada, saham yang sudah di bawah gocap bisa dikarantina di papan pemantauan khusus.
“Penyedia indeks global lebih memperhitungkan market cap kali free float. BEI seharusnya mengizinkan lebih banyak emiten dengan market cap Rp 1.000 triliun,” ucap Kartika.
Kartika memproyeksikan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Bumi Minerals Resources (BRMS), PT Aneka Antam Tbk (ANTM) jika di atas Rp 3.000 punya peluang besar untuk masuk MSCI.
Namun sayangnya, BREN dan CUAN sempat masuk papan pemantauan khusus akhirnya MSCI memutuskan untuk mengesampingkan kedua saham Grup Barito itu dalam rebalancing kali ini.
Di MSCI Global Standard Index pun tidak ada saham Indonesia yang masuk. Hanya ada tambahan dua saham di MSCI Indonesia Small Cap Index, yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA).
Investment Analyst Edvisor Provina Visindo Indy Naila menjelaskan masuknya dua saham itu ke indeks MSCI dapat meningkatkan minat investor sehingga terjadi net buy ke MTEL dan MBMA.
Indy menambahkan, untuk MTEL masih memiliki prospek yang cukup baik seiring dengan permintaan stabil akan kebutuhan menara oleh para operator telekomunikasi yang akan menggelar ekspansi.
“MBMA juga masih memiliki prospek baik seiring dengan permintaan kendaraan listrik dari China yang masih kuat, tetapi investor masih harus dipantau pergerakan harga komoditas yang masih volatile,” katanya.
Indy merekomendasikan beli MTEL dengan target harga di Rp 690 per saham, dan speculative buy MBMA dengan target di Rp 390.
Selanjutnya: Ini Alasan Pemerintah Libatkan TNI/Polri dalam Sektor Pertanian
Menarik Dibaca: 5 Cara Mencegah Depresi pada Remaja, Selalu Pantau Media Sosial Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News