Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika sudah melemah sampai 10%. Posisi di awal tahun nilai tukar rupiah masih Rp 10.925 per US$, tapi sekarang sudah ada di kisaran Rp 11.930 per US$.
Menurut Arga Samudro analis dari BNI Securities, mereka sudah memprediksikan rupiah akan cenderung mengalami tekanan di awal kuartal tahun ini. “Karena kami melihat situasi krisis global yang belum menemukan adanya sinyal perbaikan secara sistemik. Maka kami menilai investor global masih akan memegang kontrol likuiditas modal secara lebih ketat, yang pada gilirannya telah memperkuat US$ terhadap mata uang utama lainnya seperti Yen Jepang dan Euro sejak periode awal tahun ini,” tulis Arga dalam risetnya yang dirilis hari ini.
Penguatan US$ tidak hanya terjadi terhadap mata uang utama, tapi juga terhadap hampir semua nilai tukar negara-negara berkembang, kecuali Renminbi China, Peso Argentina, dan Peso Chili. Jika kita merujuk pada data total return kurs Asia terhadap US$ terakhir, Won Korea Selatan dan Rupiah menjadi dua mata uang yang berkinerja paling negatif. Boleh jadi kebijakan rezim devisa bebas yang dianut dua negara ini menjadi penyebab utama ketidakstabilan nilai tukar.
“Oleh karena itu dalam dua kuartal awal 2009, kami melihat rupiah cenderung untuk terus berfluktuasi dengan kecenderungan melemah di kisaran Rp 12.200-13.000,” tambah Arga.
Dalam riset ini juga, BNI Securities mencermati permintaan ekspor domestik yang kian melesu. Tentu saja hal ini bisa menjadi pemicu turunnya pendapatan devisa negara. Secara berantai, hal ini juga berpotensi untuk menggerus cadangan devisa apabila konsumsi impor tidak mengalami penurunan yang signifikan.
Hal inilah yang melatarbelakangi bank sentral segera mencari bantuan likuiditas berupa perjanjian currency swaps dengan negara-negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Dalam jangka menengah, tren pelemahan rupiah dapat menjadi ganjalan bagi kegiatan di sektor riil.
Inflasi yang masih terkendali menjadi bahan pertimbangan utama bagi bank sentral untuk membuat stimulus perekonomian di sisi moneter. Tapi tekanan terhadap rupiah akan membuat BI lebih berhati-hati memotong BI rate dengan agresif. “Kami memperkirakan bank sentral hanya akan menurunkan BI rate sebesar 25 bps ke level 8% di bulan depan,” papar Arga dalam risetnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News