Reporter: Raka Mahesa W, KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bank Indonesia menjamin kenaikan bunga acuan atau BI rate tidak akan mempengaruhi bunga kredit bank, termasuk kredit properti. BI mengikat industri perbankan lewat aturan transparansi bunga kredit atau prime lending rate.
Dengan aturan ini, BI bisa mengawasi komponen penyusun suku bunga kredit bank. Termasuk mengawasi tingkat bunga deposito dan tabungan. BI berwenang meminta bank menciutkan komponen biaya tertentu, agar bunga kredit tidak naik.
Jaminan dari BI sejatinya merupakan berkah bagi emiten sektor properti. Maklumlah, sebesar 75%-80% dari total pembelian rumah di Indonesia melalui Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
Seperti diketahui, BI pada awal bulan ini telah mengerek bunga acuan sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 6,75%. Ini adalah kenaikan pertama sejak 18 terakhir.
Analis Bhakti Securities Reza Nugraha berpendapat kenaikan BI rate sebesar 0,25%, jika pun diikuti dengan menanjaknya bunga KPR, tidak akan berpengaruh signifikan ke sektor properti. Tapi bila BI rate pada tahun ini naik antara 0,75%-1%, bisa berdampak negatif ke pertumbuhan sektor properti.
Reza menghitung, jika BI rate naik sebesar 0,75%-1%, bunga KPR berpotensi naik menjadi sekitar 11%-12%. Saat ini, kata dia, bunga KPR di rentang 9,5% hingga 10%.
Jika kenaikan bunga KPR sebesar 11%-12%, maka penjualan properti hanya tumbuh setinggi 7%-10% sepanjang tahun ini. Dan jika bunga KPR di bawah 10%, Reza mengestimasi, penjualan properti sepanjang 2011 bisa meningkat 10%-15%.
Analis Majapahit Securities Supriyadi memperkirakan jika bunga acuan naik 100 basis poin, maka bunga KPR akan mencapai 13%-14%. "Apabila BI rate naik 100 basis poin, BI tidak mungkin bisa mengatur, karena cost of fund perbankan akan naik. Jika bunga kredit tidak dinaikkan, laba bank akan tergerus," imbuh Supriyadi.
Dia memprediksikan, penjualan properti tahun ini bisa tumbuh 10%, dengan mempertimbangkan kenaikan bunga KPR. Tapi jika KPR tidak naik, pertumbuhan penjualan properti bisa 15%.
Ekspansi properti
Yang pasti, proyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 6%-6,5% pada tahun ini berpeluang mendongkrak bisnis properti. Sebagaimana hukum ekonomi, pertumbuhan ekonomi akan mendorong daya beli. "Kenaikan pendapatan mendorong sebagian orang membeli rumah demi memenuhi kebutuhan primernya," kata Budhy Siallagan, Analis eTrading Securities.
Dus, emiten properti yang gencar berekspansi berpotensi menikmati pertumbuhan penjualan signifikan. Tentu, pengembang tak ingin kehilangan momentum ekspansi saat bunga rendah.
PT Alam Sutera Tbk (ASRI), misalnya, mengembangkan kawasan superblok I Alam Sutera dan membangun kawasan baru di Pasar Kamis, Tangerang. Emiten lainnya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) memperluas kota mandiri BSD City tahap 2. Kemudian PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) yang mulai menambah area properti ke pinggiran Jakarta.
Langkah diversifikasi usaha juga ditempuh para pengembang. Misalnya PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) yang terus menggenjot divisi health care, yakni rumahsakit.
Summarecon Agung Tbk (SMRA) juga tidak mau ketinggalan. SMRA akan mengembangkan pusat perbelanjaan pada tahun ini. APLN juga berencana membangun beberapa mal baru di pulau Jawa dan luar pulau Jawa.
Langkah diversifikasi tentunya akan menambah pendapatan emiten properti. “LPKR, misalnya, akan memperoleh tambahan pendapatan dari rumahsakit,“ kata Supriyadi. Bisnis mal, apartemen, dan rumahsakit, menurut Reza, bisa mengkompensasi tertahannya pertumbuhan penjualan rumah di tahun ini apabila BI rate naik tajam.
Dus, bisnis properti masih cerah. Berikut ini rekomendasi analis terhadap empat saham sektor properti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News