kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

BI menyulut gairah obligasi korporasi


Selasa, 19 September 2017 / 08:44 WIB
BI menyulut gairah obligasi korporasi


Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - Bank Indonesia (BI) tengah menjajaki kemungkinan menerbitkan aturan financing to finance ratio (FFR). Bila aturan ini berlaku, perbankan nantinya bisa membeli obligasi korporasi.

Para pelaku pasar obligasi menilai, aturan ini bakal membuat pasar obligasi korporasi semakin bergairah. "Karena likuiditas di perbankan dapat diserap melalui pembelian obligasi korporasi," kata Ifan Mohamad Ihsan Ifan, Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Senin (18/9).

Sekedar info, aturan ini berbeda dengan ketentuan rasio kredit terhadap pendanaan atau loan to financing ratio (LFR) yang selama ini ada. Nantinya, obligasi korporasi yang dibeli bank bisa diakui sebagai aset, bukan hanya sebagai kredit. Sehingga istilah LFR akan berubah menjadi FFR. "Aturannya sedang dikaji," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman kepada KONTAN, Senin (18/9).

Penerapan aturan tersebut bisa membuat pasar obligasi korporasi menjadi lebih likuid. Memang, selama ini likuiditas obligasi korporasi di pasar sekunder tergolong rendah. Ifan bilang, obligasi korporasi banyak diserap institusi dana pensiun dan asuransi. Perusahaan-perusahaan tersebut cenderung lebih suka memegang obligasi korporasi hingga jatuh tempo.

Sedangkan bank selama ini lebih suka masuk ke obligasi pemerintah. Alasannya, SBN dapat digunakan untuk menjaga likuiditas melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang dilakukan Bank Indonesia.

Sebagai gambaran, data IBPA memperlihatkan, volume transaksi obligasi korporasi pada pekan pertama September 2017 rata-rata sebesar Rp 97 miliar. Sementara obligasi pemerintah mencatatkan volume transaksi rata-rata sebesar Rp 17,05 triliun.

Dari sisi frekuensi, transaksi obligasi korporasi rata-rata 138 kali. Sedangkan, obligasi pemerintah rata-rata ditransaksikan sebanyak 1.087 kali.

Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga berharap, peraturan FFR bisa mendorong pendalaman pasar obligasi korporasi. "Saat ini kapitalisasi SUN hampir Rp 1.200 triliun sedangkan obligasi korporasi hanya Rp 400 triliun, jadi ada gap besar," kata Desmon. Jika institusi perbankan banyak yang masuk ke obligasi korporasi, likuiditas obligasi korporasi di pasar sekunder juga akan semakin tinggi, sehingga semakin menarik sebagai instrumen investasi.

Hanya saja, pemerintah perlu mengkaji peraturan FFR secara hati-hati. Jangan sampai aturan ini malah membuat perbankan enggan untuk menyalurkan kredit ke sektor riil. Selain itu, pemerintah juga perlu menetapkan rating obligasi korporasi yang bisa diambil perbankan minimal investment grade.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×