Reporter: Astri Kharina Bangun |
JAKARTA. Nilai tukar rupiah selama 2011 secara rata-rata terapresiasi sebesar 3,56% dibandingkan rata-rata 2010. Tekanan depresiasi pada semester kedua disebabkan persepsi risiko yang memburuk akibat krisis Eropa.
Pemicu lainnya adalah permintaan valuta asing untuk kebutuhan domestik yang meninggi dan meningkatnya kebutuhan impor. Gubernur BI Darmin Nasution mengungkapkan tahun lalu pinjaman valas dari swasta jatuh tempo paling besar pada bulan November dan Desember. Alhasil, di pengujung tahun permintaan dolar pun bertambah.
"Kalau pembayaran bunga dan jatuh tempo pokok pada bulan-bulan lain hanya US$ 600 juta, di bulan Desember mencapai US$ 1,6 miliar. Jadi agak besar di antara yang lain," ungkap Darmin, Kamis (12/1).
Mengacu pada kurs tengah BI, Kamis (12/1) rupiah ditransaksikan pada Rp 9.210 per dollar AS. Kondisi ini melemah dibandingkan Rabu (11/1), yakni Rp 9.200 per dollar AS.
Mengenai tekanan rupiah dalam sepekan terakhir, Darmin menilai hal tersebut bukan sesuatu yang istimewa. Mata uang negara tetangga pun mengalami tekanan. Selain itu, depresiasi yang dialami rupiah bukanlah yang tertinggi dibandingkan negara lain di regional Asia.
"Ada yang lebih besar depresiasinya, ada yang lebih kecil. Jadi tidak ada yang luar biasa," tutur Darmin.
Ia menambahkan, BI juga terus memonitor perkembangan nilai tukar rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas rupiah dan valas. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengungkapkan secara keseluruhan likuiditas valas perbankan sampai akhir tahun lalu mencapai Rp 900 triliun.
"Kalau dikurangi GWM, jumlahnya mencapai Rp 600 triliun," kata Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News