Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dalam tren melemah sepanjang satu bulan terakhir. Padahal pada 11 September lalu, rupiah sempat mencetak rekor terbaik sepanjang tahun, Rp 13.156 per dolar AS.
Namun, mulai memasuki bulan Oktober, kurs rupiah terus tertekan. Bahkan pada Selasa, (3/10) lalu, kurs rupiah di pasar spot berada di rekor terburuk sepanjang tahun, yakni Rp 13.542 per dolar AS.
Tentu saja, pergerakan nilai tukar rupiah ini akan berdampak terhadap emiten-emiten di bursa. Tapi, beberapa emiten justru diuntungkan dari pelemahan nilai tukar rupiah. Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang mengatakan, kinerja emiten yang banyak melakukan ekspor dalam bisnisnya justru akan tertolong pelemahan rupiah.
Misalnya saja, emiten yang bergerak di bisnis batubara, minyak sawit mentah (CPO), serta beberapa emiten logam dan mineral, seperti emas maupun timah. Saham-saham tambang yang bisa terkerek di antaranya ITMG, ADRO, HRUM, INCO, TINS dan ANTM. Sektor industri dasar yang banyak mengekspor produknya ke luar negeri seperti SRIL juga bisa menuai keuntungan dari rupiah.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee juga menilai, emiten komoditas akan terimbas angin segar penguatan dollar AS terhadap rupiah. "Harga komoditas merujuk pada mata uang internasional. Dollar menguat, harga komoditas naik," tutur Hans kepada KONTAN, Rabu (4/10).
Jadi, ada beberapa saham yang menurut Hans masih layak diperhatikan di saat rupiah tengah terpuruk. Misalnya, PTBA dan LSIP.
Banyak yang rugi
Meski demikian, pelemahan rupiah lebih banyak memberikan dampak buruk bagi sebagian besar emiten di bursa. Pasalnya, saat ini perusahaan di Tanah Air masih banyak sebagai importir. "Jadi masih lebih banyak yang dirugikan dibandingkan yang diuntungkan dari pelemahan nilai tukar rupiah tutur Hans.
Menurut Edwin, selain perusahaan yang menggunakan bahan baku impor untuk operasional, emiten yang memiliki banyak utang dalam mata uang asing juga akan terpukul. Beberapa emiten yang banyak menggunakan bahan baku impor misalnya saja emiten yang bergerak di bisnis farmasi, baja, otomotif dan emiten konstruksi.
Edwin mengambil contoh, salah satu perusahaan yang akan dirugikan adalah ASII. Pasalnya, impor bahan baku ASII sangat bergantung posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Selain itu KLBF juga berpotensi mencetak rugi kurs jika nilai tukar rupiah terus tertekan.
Menurut Hans, sekitar 40% kebutuhan pembangunan emiten properti dan konstruksi masih berasal dari barang impor. Tapi, masih ada beberapa saham konstruksi seperti WIKA dan PTPP masih menarik untuk dikoleksi.
Di sisi lain, Edwin dan Hans menilai, pelemahan rupiah kali ini masih belum terlalu mencemaskan. Pasalnya, penguatan dollar AS diproyeksikan tak berlangsung lama.
Beberapa kebijakan yang muncul di AS belakangan ini, misalnya soal reformasi pajak memang menjadi pemicu penguatan dollar AS terhadap sejumlah mata uang. "Ketika pajak diturunkan, perusahaan yang simpan aset di luar AS, akan kembali memindahkan bisnisnya ke AS. Ini membuat potensi capital outflow di beberapa negara, jelas Hans.
Hans memperkirakan mata uang Garuda masih mampu berotot. Ia bilang, jika kurs rupiah masih belum menyentuh level Rp 13.600 per dollar AS, pebisnis masih belum terlalu banyak terdampak.
Edwin juga mengatakan, pelemahan rupiah hanya sementara. "Nilai tukar di kisaran Rp 13.500 per dollar AS masih masih dalam proyeksi rentang yang aman, jadi belum terlalu dikhawatirkan," tandas Edwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News