Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Persaingan industri farmasi nasional akan makin sengit. Ada dua hal yang membuat persaingan bisnis obat-obatan makin memanas.
Pertama, Pemerintah berniat mencabut pembatasan kepemilikan asing di perusahaan farmasi lewat revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) bidang kesehatan. Dus, farmasi asing boleh memiliki 100% perusahaan farmasi lokal.
Kedua, Indonesia juga membuka perdagangan bebas dengan India. Salah satu poin perjanjiannya, Indonesia akan mengurangi bea masuk obat-obatan asal India berkisar antara 0%-5%.
Harry Su, Analis Bahana Securities menilai, kedua hal tadi akan memicu persaingan sengit dan bisa mengancam industri farmasi lokal, termasuk bagi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Sebagai catatan, KLBF menguasai pangsa pasar obat sekitar 13%-14%.
Tapi Harry melihat Kalbe relatif bisa bertahan karena memiliki kelebihan ketimbang produsen obat yang lain. "Kalbe memiliki merek yang lebih dikenal daripada produsen lain," kata Harry, kemarin.
Analis BNI Securities Akhmad Nurcahyadi pun setuju dengan pendapat Harry. Akhmad melihat, bisnis Kalbe Farma cukup solid. "KLBF sudah memiliki outlet lebih dari satu juta," tegasnya.
Di mata Akhmad, ancaman terbesar bagi KLBF adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan baku obat impor. Saat ini, KLBF masih mengimpor 80% bahan baku obatnya. Jika rupiah melempem, biaya impor akan melejit dan membebani ongkos produksi KLBF.
Efek ketergantungan tinggi pada bahan baku impor itu sudah terasa tahun ini. Akhmad meramal, tahun ini penjualan KLBF hanya akan mencapai Rp 8,38 triliun alias di bawah target KLBF sebesar Rp 8,9 triliun.
KLBF kemungkinan juga kesulitan mencapai target laba bersih tahun yang senilai Rp 800 miliar. "Saya perkirakan laba bersihnya Rp 719,8 miliar tahun ini," imbuhnya.
Namun Harry punya perhitungan lain. Dia memperkirakan, tahun ini penjualan KLBF bisa mencapai Rp 8,9 triliun, naik 12,94% ketimbang tahun lalu yang senilai Rp 7,88 triliun. KLBF juga berpotensi meraih laba bersih Rp 831 miliar, naik 17,6% daripada perolehan tahun lalu yang senilai Rp 706,8 miliar.
Dari sisi kinerja keuangan, KLBF memang masih sehat. Tapi, Harry menyarankan supaya investor tidak langsung membeli saham KLBF.
Menurut hitungan Harry, harga saham KLBF sudah mahal. Salah satu indikasinya, rasio harga terhadap laba bersih pe saham atau price earning ratio (PER) KLBF mencapai 15,6 kali, adapun PER industri sejenis 11,3 kali.
Buy back tak menolong
Sebenarnya, ada sentimen bagi saham KLBF, yakni program pembelian kembali saham (buy back). Sebagai catatan, produsen obat Promag ini berniat menggelar buy back dengan target memborong 12,3% saham dari pasar. "Kami akan meminta izin pekan ini," kata Vidjongtius, Direktur KLBF.
Tapi, Harry skeptis buy back ini bisa terlaksana. Sebab pada buy back tahap ketiga sebelumnya, KLBF membeli sahamnya dengan harga rata-rata Rp 880 per saham. Padahal pada penutupan bursa kemarin, harga saham KLBF berakhir di Rp 1.270 per saham.
Dengan berbagai pertimbangan tadi, Harry merekomendasikan tahan untuk saham KLBF dengan hitungan harga wajar Rp 1.250 per saham.
Akhmad juga merekomendasikan tahan untuk saham KLBF. Dia menghitung harga pasar wajar saham KLBF
Rp 1.050 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News