Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Kegagalan tidak menjadi halangan berinvestasi bagi Tanto Kurniawan, Presiden Komisaris PT Graha Buana Cikarang, anak usaha PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Lewat bank investasi di Singapura, Tanto merupakan salah satu korban pecahnya bubble saham-saham teknologi sebelum tahun 2000.
Pria 59 tahun ini mulai berinvestasi di saham sekitar tahun 1990-an. Kala itu, banyak fund manager asing merambah pasar di Indonesia. Salah satunya adalah Citibank Singapura.
Mulanya, Tanto hanya menyimpan dana di deposito bank asal Amerika Serikat (AS) ini. Tapi karena rayuan dan janji-janji manis fund manager, ia pun setuju uang depositonya diputar oleh Citibank di bursa saham AS lewat produk reksadana.
Dekade 1990 merupakan surga bagi sektor teknologi informasi di AS. Saham-saham perusahaan teknologi melaju kencang. Namun, hal ini tidak bertahan lama. Satu per satu, perusahaan teknologi informasi AS gulung tikar. Akibatnya, saham-saham sektor teknologi informasi tidak ada nilainya, hanya tinggal kertas kosong. Tabungan Tanto selama 17 tahun bekerja di PT Pembangunan Jaya lenyap seketika.
Tanto pun berangkat ke Singapura untuk menemui wakil presiden Citibank. Ia mempertanyakan dananya. Si wakil presiden mengatakan, Tanto bukan satu-satunya orang yang kena imbas. "Dia bilang, Tanto, you are finance guy, tetapi saya country manager Citibank, semua dana saya juga hilang. Semua merata, bukan hanya orang awam yang kehilangan dana," kenang Tanto tentang pengalaman buruknya itu.
Tanto memang sempat kesal. Selama berkunjung ke Indonesia, si fund manager sama sekali tidak menyinggung dananya. Setiap bertemu untuk makan siang, mereka selalu bicara banyak hal, tanpa sekalipun menyinggung perkembangan dana milik Tanto. "Memang setiap bulan Citibank mengirim laporan. Isinya banyak ada macam-macam brosur dan tawaran lain. Tetapi kinerja dana yang dikelola tak pernah saya lihat," tambah Tanto yang kini agak kapok menaruh dana di reksadana.
Tanto menyadari, dia juga turut andil dalam kerugian ini. Harusnya, ia tahu kapan harus masuk dan keluar reksadana. Seandainya dia sadar bahwa perusahan-perusahan teknologi informasi AS bakal bangkrut, mungkin kerugian tidak sebesar yang terjadi.
Portofolio lain
Meski buntung di reksadana, Tanto masih bisa meraup untung dari portofolio investasi lain, di portofolio emas dan properti. Kedua instrumen ini menjadi ladangnya membiakkan cuan saat itu.
Mantan CEO Paramount Serpong ini juga menanam duit di investasi kaveling tanah. Menurut dia, investasi kaveling tanah ini tak lekang oleh waktu, dan barangnya tidak akan pernah hilang, karena investor memiliki sertifikat, blok dan izin mendirikan bangunan.
Kini, Tanto makin konservatif dan hati-hati dalam menanamkan aset-asetnya. Ia menaruh aset di instrumen saham dan properti. Tanto mengempit saham-saham sektor consumers goods dan properti. Alasannya, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa dengan kelas menengah yang terus bertumbuh, membuat kedua sektor ini memiliki prospek yang cerah di masa depan.
Sektor yang berorientasi pasar dalam negeri menjadi satu-satunya resep yang manjur dalam menghadapi imbas dari krisis luar negeri.
Sedang di bisnis properti, Tanto yakin pertumbuhan jangka panjang masih bisa cemerlang. Betapa tidak, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk besar dan populasi kaum mudanya masih terus bertumbuh. Apalagi saat ini 70 % penduduk Indonesia belum memiliki rumah yang layak. Karena itu, bisnis properti ini masih sangat menjanjikan.
Berani jadi kontrarian
Bagi para investor muda yang ingin berinvestasi di saham, Tanto Kurniawan, Presiden Komisaris PT Graha Buana Cikarang berpesan agar mereka benar-benar menganalisis setiap kategori sektoral investasi seperti properti, perdagangan, consumers goods dan lain-lain. Setelah menentukan sektor yang dianggap menarik, investor bisa memilih saham perusahan apa yang paling meyakinkan untuk dibeli.
Investor juga harus mengetahui bagaimana manajemen perusahaan, siapa pengelolanya, siapa pemegang saham pengendali, serta strategi perusahaan dalam menghadapi persaingan bisnis. Calon investor juga harus melihat dampak faktor luar terhadap perusahaan tersebut.
Setelah menentukan pilihan saham yang akan dikempit, investor harus memantau secara terus informasi tentang realisasi penjualan dan efisiensi biaya perusahan. "Bila kinerjanya kurang baik, sebaiknya segera dijual. Tetapi jika bagus, investor bisa membeli tambahan saham tersebut," imbuh penyuka angka sembilan ini.
Dalam berinvestasi, investor sebaiknya tidak menjadi follower, tetapi harus berani menjadi kontrarian. Artinya, menyasar saham-saham yang tidak banyak dilirik orang lain, tapi punya potensi mendatangkan return yang besar. Dengan menjadi kontrarian, investor memiliki potensi mendapatkan cuan dengan porsi yang jauh lebih besar. Terakhir, investor sebaiknya menyiapkan alternatif rencana. "Kita harus punya plan A, B, dan C," imbuh Tanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News