Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
Ditambah lagi, beberapa berita positif dinilai belum mampu untuk mendongkrak harga secara signifikan, khususnya harga minyak. Apalagi, bencana badai kali ini cukup berbeda dibandingkan bencana-bencana sebelumnya, lantaran hadirnya pandemi Covid-19 yang membuat permintaan terhadap komoditas energi juga ikut tertekan.
"Tapi efeknya (Badai Laura) belum pasti, jadi potensi buruknya tidak bisa diabaikan juga," tambahnya.
Baca Juga: 10 Saham ini naik signifikan sejak awal Agustus 2020, ini rekomendasi analis
Meskipun begitu, Wahyu menilai kenaikan harga komoditas energi di akhir pekan lalu dipicu sentimen bencana alam, yakni badai. Di sisi lain, melonjaknya harga gas alam di akhir pekan turut didukung cuaca musim panas yang berpotensi menekan jumlah rig produksi.
Ke depan harga komoditas energi dijelaskan Wahyu masuk ke dalam tren reflationary trade, dimana investor cenderung mengejar aset yang berhubungan dengan pertumbuhan dan inflasi seperti saham, komoditas dan juga emas. "Minyak, tembaga, CPO, batubara dan bahkan gas alam lumayan rebound. Ini karena faktor harapan ekonomi dan gelontoran stimulus yang luar biasa," jelasnya.
Dalam kondisi tersebut Wahyu menilai bahwa investor mencoba objektif dan terus menakar tingkat ketidakpastian kondisi global. Konsep tersebut juga tampak disetujui Bank Sentral AS (The Fed) yang mana dalam kebijakan strategis, mereka mengadaptasi moderasi terhadap isu inflasi. "Untuk itu, saya masih berpikir bahwa komoditas dan juga minyak akan menguat ke depannya," tandasnya.
Prediksinya, di sisa 2020 harga batubara akan bergerak di kisaran US$ 50 per metrik ton hingga US$ 60 per metrik ton. Untuk akhir tahun, prediksinya berada di level US$ 55 per metrik ton, dengan kecenderungan konsolidasi dan mengikuti tren kenaikan harga komoditas energi. Sedangkan untuk harga gas alam diperkirakan berada dil level US$ 3,5 per mmbtu di akhir tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News