Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah sentimen diyakini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global dan pasar saham di tahun depan. Dalam laporan bertajuk Investment Outlook 2023 tertanggal 16 November 2022, tim riset Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 1,8% pada tahun depan.
Proyeksi ini dengan menimbang adanya resesi ringan di wilayah Eropa dan pembukaan kembali ekonomi di China. Selain itu, peluang Amerika Serikat (AS) untuk mengalami resesi juga kecil. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksi tetap moderat.
Berbeda dengan AS, kawasan Eropa dan Inggris kemungkinan besar akan mengalami resesi. Alasannya adalah lonjakan biaya energi rumah tangga, yang pada akhirnya mendorong inflasi utama hingga mencapai puncaknya, yakni 12% untuk kawasan Eropa dan 11% di wilayah Inggris, jauh lebih tinggi daripada inflasi yang terjadi di AS.
Pada akhirnya, inflasi yang tinggi akan membebani pendapatan riil, konsumsi, dan produksi. Goldman Sachs memperkirakan adanya penurunan pendapatan riil sebesar 1,5% di kawasan Eropa hingga kuartal pertama 2023 dan 3% di wilayah Inggris hingga kuartal kedua 2023.
Sementara itu, ekonomi China diperkirakan bakal tumbuh lambat di paruh pertama 2023, namun berpotensi rebound di paruh kedua 2023 saat perekonomian dibuka kembali pasca kebijakan zero Covid-19.
Baca Juga: Ini Pandangan Credit Suisse Terhadap Sektor yang Atraktif Tahun 2023
Tim riset JP Morgan Asset Management menyebut, normalisasi ekonomi China dapat mengurangi gangguan rantai pasokan secara signifikan, yang telah berkontribusi terhadap kenaikan inflasi secara masif. Meskipun rebound pertumbuhan di China juga dapat mendorong permintaan komoditas global, kondisi ini juga menjadi pendorong penurunan inflasi pada tahun depan.
Sementara itu, pasar ekuitas negara berkembang turut mengalami tekanan. Per akhir Oktober, Indeks MSCI Emerging Markets telah terkoreksi 29%, melebihi koreksi pada pasar ekuitas negara maju sebesar 10%.
Akibat penurunan tajam dalam harga saham, valuasi saham di negara berkembang jatuh cukup dalam. Sehingga, ekuitas pasar negara berkembang kini menjadi terlihat semakin atraktif dari perspektif valuasi. Valuasi pasar ekuitas negara berkembang, yang mencakup price-to-earnings ratio (PER), price-to-book value dan price-to-cash flow ratio, serta dividend yield saat ini jauh berada di bawah rata-rata jangka panjang dan juga relatif murah dibandingkan valuasi ekuitas global.
Baca Juga: Window Dressing Diprediksi Berpeluang Terjadi, Cermati Saham-Saham Pilihan Analis
JP Morgan menilai, terdapat katalis potensial yang bisa diperhatikan pada tahun 2023. Pertama, kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve. JP Morgan memperkirakan The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga di awal tahun 2023. Dalam skenario ini, saham siklikal seperti sektor teknologi akan diuntungkan.
Kedua, akhir dari kebijakan zero Covid-19 di China. Negeri Tirai Bambu ini telah melakukan langkah-langkah pelonggaran dalam pengendalian Covid-19 pada November 2022 yang memicu keyakinan bahwa China kebijakan zero Covid-19 di China akan selesai secara bertahap.
Ketiga, berkurangnya risiko politik. Pasar negara berkembang juga terpukul oleh eskalasi politik pada tahun ini. Meredanya risiko politik adalah sesuatu mungkin terjadi pada tahun 2023.
“Agar pasar negara berkembang bisa menarik pada tahun 2023, setidaknya satu dari tiga katalis unggulan ini perlu terjadi. Kami sangat yakin bahwa gerak bank sentral akan berkurang pada tahun depan, tetapi kondisi seperti berakhirnya kebijakan zero Covid-19 China, atau meredanya perang di Ukraina, masih sangat tidak pasti,” tulis analis JP Morgan dalam laporannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News