Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja pasar keuangan Tanah Air terus mendapat tekanan baik dari eksternal maupun domestik. Pelemahan nilai tukar rupiah bahkan menembus level psikologis Rp 14.000 per dollar AS pada pekan lalu.
Nilai tukar rupiah telah melemah 2,99% sejak awal tahun hingga kemarin atau year to date (ytd). Mengikuti pergerakan mata uang Garuda, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun 6,28% ytd ke level 5.956,83. Begitu pula, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang melemah 1,73% ytd.
PT Bahana TCW Investment Management menilai, pelemahan kurs rupiah cenderung disebabkan faktor eksternal, bukan dari kebijakan fiskal maupun moneter Tanah Air.
Sentimen eksternal berupa stimulus Pemerintah AS Donald Trump menopang dollar AS, sehingga unggul terhadap sejumlah mata uang asing. Kondisi tersebut sekaligus memberi peluang bagi Bank Sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuan. Imbasnya, nilai tukar rupiah tertekan.
Selain kebijakan AS, pulihnya harga komoditas global, dalam hal ini harga minyak, turut berkontribusi pada pelemahan rupiah. Kenaikan harga minyak telah memicu defisit anggaran minyak naik 13% dibandingkan kuartal satu tahun lalu.
Dari domestik, pelemahan rupiah juga dipengaruhi faktor kebutuhan valuta asing (valas) oleh korporasi nasional. Perusahaan membutuhkan dollar AS untuk pembayaran dividen ke luar negeri. Pola tersebut, umumnya terjadi di kuartal II, sehingga menyebabkan rupiah tertekan.
“Dari segi fiskal, baik itu pemasukan, pengeluaran, dan pembiayaan menunjukkan angka yang bagus. Bank Indonesia (BI) juga melakukan intervensi dengan melepas valas hingga US$ 7 miliar," kata Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat di Jakarta, Selasa (15/5).
Upaya tersebut, dinilai Budi, memperlihatkan kebijakan Bank Sentral yang telah mempertimbangkan faktor stabilisasi dan pertumbuhan. Hal itu ditempuh dalam bauran kebijakan (policy mix). "Secara global, pelemahan rupiah tak terlalu dalam dibandingkan sejumlah mata uang negara berkembang lainnya," jelasnya.
Sebagai gambaran, nilai tukar negara berkembang lainnya turut terdampak sentimen eksternal beberapa pekan ini. Di antaranya, nilai tukar pesso Argentina melemah 24,6% (ytd), peso Filipina terkoreksi 4,93% (ytd), rupee India melemah 5,42% (ytd), real Brazil juga melemah 8,69% (ytd).
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri dana asing terus keluar (capital outflow) dari pasar obligasi dan IHSG sebagai dampak dari pelemahan rupiah.
Secara global, dugaan suku bunga The Fed akan naik lebih banyak telah memicu kenaikan yield US Treasury. Kondisi itu juga berisiko memicu kenaikan yield obligasi Indonesia, akibat aksi ambil untung yang dilakukan investor asing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News